TMRC - Dua Puluh Lima - Rindu Terbunuh Jarak

41.1K 3.5K 410
                                    

Jejak terakhirmu bahkan sudah hilang terkikis waktu.
Tapi luka karenamu selalu terasa baru dan menganga.


***


Hujan baru berhenti malam ini sejak mengguyur kota subuh tadi. Menyisakan udara dingin yang menyengat di kulit Kaffi. Dia hanya dibalut kaos putih tipis dan celana pendek. Kaffi sengaja membiarkan tubuhnya menggigil dan berlama-lama berada di ayunan kayu di taman depan kamarnya. Buku klasik yang rencana awalnya akan dibaca, hanya diletakkan begitu saja di atas meja.

Pandangan Kaffi terfokus pada sebuah kertas di tangan. Entah sudah berapa kali Kaffi melakukannya di hari ini—membaca tulisan tangan pada sebuah kertas berwarna biru yang beberapa tahun lalu Kaffi temukan di atas meja makannya.

Kaffi menarik napas mbiarkan udara masuk sebanyak mungkin kedalam paru-parunya, sengaja untuk menekan rasa janggal di dadanya. Ia tidak pernah menyangka hari-hari yang dilewatinya tanpa Gebi bisa membuatnya sekacau ini. Ada sebuah ruang di hatinya yang mendadak kosong.

Rindu?

Ya, Kaffi rindu!

Tanpa harus menerjemahkan perasaannya lebih jauh lagi, Kaffi sudah tau dengan jelas rindu ini milik siapa.

Setiap paginya kaffi akan bangun dan menatap nanar sisi tempat tidur yang biasa digunakan Gebi. Tidak bisa ia pungkiri, kehilangan itu ada.

Dulu, saat Gebi masih di sini, pagi hari Kaffi selalu tidak tenang diisi oleh celoteh-celoteh gadis itu. Biasanya, mereka selalu berlomba untuk bangun lebih awal karena sudah merupakan peraturan siapa pun yang terlambat bangun, akan 'disiksa' dengan cara tidak biasa.

Dan Gebintang selalu dan selalu menjadi pihak yang paling sering kalah. (Atau sengaja dibikin kalah.) Dia menjadi korban keisengan Kaffi. Biasanya, Kaffi akan menyentil kening atau bahkan pangkal hidung gadis itu sehingga dia terbangun dan mengamuk setengah menangis.

Setelah itu, mereka akan meributkan hal-hal kecil. Seperti: Gebi memarahi Kaffi karena tidak pernah menutup pasta gigi setelah pria itu selesai menyikat gigi. Atau, Gebi yang tidak berhenti menyumpah saat melihat Kaffi iseng mengotori sprei bermotif kesukaannya;  Gebi yang dibentak Kaffi karena lupa mematikan shower atau bahkan lupa membuang pembalut bekas pakainya di kamar mandi.

Atau sebaliknya, Kaffi yang dimaki-maki Gebi karena menjahili gadis itu dengan mengunci Gebi di kamar mandi. Lalu pura-pura tertidur sampai Gebi nyaris merobohkan pintu kamar mandi. Kaffi yang dengan sengajanya menumpahkan minuman-minuman berwarna atau cokelat ke lantai kamar, dan membuat Gebi kesal bahkan hampir menangis saat mengepel lantai kamar. Tidak puas dengan itu, Kaffi bahkan menyiksa gebi dengan menyuruh dia membuatkan sarapan-sarapan yang berbeda setiap harinya.

Kebiasaan-kebiasaan yang dulu dianggapnya menyebalkan, justru sekarang sangat dirindukan kaffi. Kepergian Gebi ternyata membawa efek besar pada hari-harinya.

Kaffi mungkin bisa sedikit lega pada siang hari. Karena biasanya, ia kekosongananya teralih dengan tenggelam pada kesibukan kerja. Tapi saat ia pulang ke rumah di malam hari dan mendapati rumah dalam keadaan sepi, gelap gulita, Kaffi kembali merasakan hampa luar biasa dalam hidupnya.

Tidak ada lagi Gebintang yang sudah menyambutnya di meja makan dengan cerita-cerita tidak penting tentang pekerjaannya; Gebintang yang menonton teve selalu membesarkan volume sampai Kaffi harus meneriakinya untuk berhenti; Gebintang yang tidur dengan keadaan kamar gelap dan posisi tidur paling egois karena menguasai ranjang dan hanya menyisakan Kaffi sisi tempat tidur pada bagian paling ujung.

Gebintang yang menghamburkan pakaian bekas pakainya sembarangan sampai tidak jarang bra dan underwear-nya bertebaran indah ke seluruh penjuru kamar. Lalu baru berniat memberesi kalau Kaffi menyumpah serapah.

The Marriage Roller CoasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang