Tmrc dua

73.9K 6.2K 184
                                    

***

Gebi menghempaskan tubuh di ranjang sedang miliknya. Pandangannya menyapu langit-langit kamar bernuansa biru, memperhatikan lagi seisi kamar yang sudah hampir delapan bulan ini dia tempati. Tapi pikiran gadis itu tidak benar-benar di sana. Ia sebenarnya tengah memutar otak memikirkan juga menimbang-nimbang tawaran Kaffi. Menurut Gebi, ini terlalu mendadak. Tiga jam sebenarnya waktu yang terlalu singkat untuk berpikir apalagi memutuskan sebuah pilihan besar.

Keluarga ini.

Gebi erlanjur suka keluarga ini.

Mereka memperlakukannya dengan sangat baik layaknya seorang anak, adik, dan kakak. Gebi sadar ini bukan soal kebutuhannya yang dicukupi, bukan juga soal kenyamanan dan fasilitas yang disediakan, apalagi soal tawaran pekerjaan dan posisi yang baik di Firma hukum keluarga Chanzu. Ini murni karena rasa bergantung dan perasaan membutuhkan yang muncul dengan serakah di dalam hatinya. Ya, seumur hidupnya tidak pernah ia merasakan curahan cinta berlebihan dari orang sekitarnya.

Hebatnya keluarga ini memperlakukan Gebi senormal-normalnya, layaknya seorang anggota keluarga. Jika ada kesalahan yang dibuat, mereka bahkan tidak segan-segan untuk menegur. Di sini Gebi tidak pernah merasa dispesialkan, atau bahkan dikasihani, ia benar-benar diposisikan seperti anggota keluarga sungguhan dengan kadar perhatian yang sama rata, tidak berlebihan, tidak juga sengaja di tambah-tambahkan. Dan semua itu memicu rasa nyaman Gebi. Gadis itu bersyukur atas semua yang didapatkannya saat ini. Perasaan kosongnya terisi, tidak ada lagi drama meratapi diri hanya karena merasa sebatang kara. Keluarga ini adalah pengganti dukanya. Dan Gebi tentu berharap semua yang didapatkannya saat ini tidak berdurasi singkat.

Bangkit dari kasur, Gebintang mengelilingi sudut demi sudut kamar dengan bibir yang tergigit gusar. Ia memejamkan mata, bergumam tidak jelas, mengetuk-ngetuk alis dengan buku-buku jari telunjuk. Otak gadis itu tentu saja tengah rusuh berpikir keras. Sebuah keputusan sebenarnya sudah berada di ujung lidahnya, hanya saja ia perlu sedikit membuat ritual menimbang untuk sebuah formalitas agar kesannya keputusan yang ia buat ini tidak terkesan terlalu buru-buru.

"Aku akan tetap menjadi bagian dari keluarga ini," gumamnya. "Aku harus menerima tawaran ini." Gadis itu kemudian melangkah yakin ke pintu.

Ada tarikan napas panjang ketika tangannya meraih hendel pintu. Ia membuat kesepakatan dalam hati: jika satu langkah saja kakinya keluar dari kamar ini maka keputusan yang ia buat fix tidak akan berubah lagi. Sudah ia tetapkan akan menerima tawaran-wtau sebut saja-lamaran Kaffi.

Gebi tau, cinta adalah komposisi yang berkontribusi besar untuk membangun sebuah pernikahan. Namun, ia juga yakin jika cinta bukan jaminan mutlak untuk menyulap sebuah pernikahan mejadi 'sehat' dan 'panjang umur' selalu.

Beberapa kali, ia pernah menjadi saksi temannya yang menikah atas nama cinta yang mengebu-ngebu, namun pada akhirnya berpisah pada usia pernikahan yang baru menginjak tiga tahun. Tapi di kesempatan lain, ia juga melihat sebuah rumah tangga yang terbentuk tanpa cinta dan masih bertahan sampai saat ini tanpa konflik yang berarti. Gebi lantas menarik kesimpulan subjektif bahwa cinta sebenarnya tidaklah terlalu penting dalam pernikahan. Yang menguatkan justru sebuah komitmen. Jika dia tidak bisa mencintai, minimal ia bisa menjaga komitmen. Setidaknya itu cukup untuk sementara sambil menggali perasaan-perasaan lain.

Krek.

Gava dan Kiffarah melonjak dari ruang TV tepat di sebelah kamar Gebi ketika mendengar bunyi pintu yang terbuka. Keduanya lari berdesakan dan mengintip Gebi yang berdiri di depan kamar Kaffi. Padahal mereka bisa saja menonton dari kamar masing-masing, tapi tentu kedua orang itu sengaja berada di ruangan yang sama untuk menunggu Gebi.

"Masuk saja, Kak. Pintunya tidak di kunci," teriak Gava keras yang langsung disambut oleh pukulan Kiffarah di kepalanya. Laki-laki itu meringis sambil mengusap kepala.

The Marriage Roller CoasterWhere stories live. Discover now