#12

13K 913 60
                                    

Menyepi di sudut bar sambil menenggak beberapa gelas wine jelas bukan gayaku.

Tetapi, yeah. Setidaknya ini jauh lebih baik di banding aku harus terjebak di antara para bangsawan yang mengelilingi ibu tiriku.

Tidak dapat ku pungkiri. Joanna memang sangat cantik.

Dia terlihat anggun dan mempesona meski usianya tidak bisa dikatakan muda lagi.

"Apa kau begitu iri dengan kecantikan Joanna?"

Cairan beralkohol itu menyembur begitu saja. Membasahi hampir sebagian gaunku.

"Mr. Benjamin-" aku meraih apapun yang bisa kujadikan sebagai lap untuk menghapus noda di gaunku.

Damn! Joanna akan marah besar karena ini.

Mr. Benjamin mengambil sapu tangan dari sakunya.

Sebuah sapu tangan warna merah yang terlihat sangat menggoda, sama seperti pemiliknya.

"Sepertinya apa yang kukatakan tidak sepenuhnya salah." Ujar Benjamin lagi seraya mengusapkan sapu tangannya di gaunku yang basah.

Aku menarik napas dalam-dalam. Mencoba menahan amarah yang nyaris tidak bisa kubendung.

Jelas mulut pria ini tidak sebagus parasnya.

"Dengar Tuan, Joanna memang cantik dan sangat cantik. Tetapi, perlu anda ketahui kalau bukan hanya aku yang merasa iri dengan kecantikannya!" Habislah aku.

Mr. Benjamin menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak kusangka kalau kau bisa bicara sebanyak itu Nona. Penilaian pertamaku tentangmu adalah kau orang yang pelit bicara."

"Kalau begitu anda salah." Tegasku.

Mr. Benjamin memajukan tubuhnya ke arahku. "Benarkah?"

Great, apa dia sedang mencoba menggodaku. Dan- ugh wangi apa ini.

"Apa kini kau sedang mencoba mengendus tubuhku Nona Alana?" Tanya Mr. Benjamin.

Seketika itu pula tubuhku membeku. Sial, apa tadi memang aku. Mengapa hidung ini bergerak maju dengan sendirinya.

"Mr. Benjamin, hanya untuk anda tahu. Jika aku boleh berkata jujur, kupikir anda adalah orang yang ramah dan bijaksana." Lagi-lagi, mulut ini berkicau tak terbendung.

"Benarkah? Tapi kurasa pemikiranmu itu benar adanya." Ucap Mr. Benjamin lagi. Seolah apapun yang kukatakan akan dengan mudah ditepisnya.

Kali ini, aku membungkam mulutku rapat-rapat. Meladeni orang seperti ini hanya akan membuatku kesal.

Dan keputusan paling bijak adalah memutar kursi dan kembali fokus dengan minumanku.

Hanya sesaat ketika aku menuang minuman itu ke dalam mulutku sampai semuanya tiba-tiba di penuhi kabut asap yang pekat.

Memusnahkan kesadaranku sepenuhnya.

***

Gemericik air menyadarkanku. Membangunkanku dari tidur yang entah berapa lama.

Butuh waktu beberapa saat sampai aku benar-benar menyadari. Dimana aku kini.

Dan sialnya adalah, aku sama sekali tidak ingat bagaimana caranya aku bisa ada di sini.

Aku melonjak bangun. Membersihkan gaun merahku dari tanah basah yang melekat di bagian belakang tubuhku.

Pandanganku berputar, mengelilingi tepian sungai yang airnya tampak begitu jernih.

"ADA ORANG DI SINI??" Aku berteriak sekuat tenaga.

Hening.

Tidak ada yang membalas ucapanku selain burung-burung yang begitu kompak berterbangan akibat teriakanku.

Mr. GentlemanWhere stories live. Discover now