#04

24.5K 1.2K 43
                                    

Oh tidak.

Aku saat ini, bisa dikatakan berada dalam situasi yang menguntungkan sekaligus merugikan. Zeroone, entah sejak kapan sudah berada di atas tubuhku, menindihku dengan tubuhnya yang dua kali lipat jauh lebih besar jika di bandingkan denganku.

Aku tergiur, ya jelas. Aku ingin melepaskan keperawananku, tentu saja tidak. Aku tidak ingin melepas satu-satunya kehormatanku untuk orang yang baru satu kali kutemui. Bahkan bermimpi pun tidak.

Ku akui, Zeroone memang sangatlah mengagumkan. Aku bahkan berani bertaruh kalau pria ini adalah salah satu most wanted di tempat ini. Bisa kusadari dari tatapan iri para wanita yang melihat diriku ketika Zeroone dengan begitu gagahnya merangkul pinggangku.

"Kenapa kau memejamkan matamu, Alana?"

Aku mengerjap. Baru kusadari kalau aku rupanya tengah memejamkan mataku. Dan hei, sejak kapan aku pindah ke ranjang?

"A, maaf tapi sejak kapan aku berada di sini?", ini misterius, sungguh. Karena aku bahkan sama sekali tidak menyadari kalau Zeroone-mungkin, menggendongku ke sini.

Zeroone memalingkan wajahnya sejenak. "Mungkin kau terlalu gugup hingga tidak menyadarinya, lihat tubuhmu gemetar."

Benarkah? Aku mengangkat tanganku dan memang benar yang ia katakan. Aku begitu gemetar hingga kurasa ranjang ini ikut bergetar karenanya.

Aku berusaha keras untuk tersenyum. "Be, begini Tuan Zeroone-", aku menggeser tubuhku perlahan dan menepis tangan pria itu dari sisi tubuhku dengan amat perlahan. Berusaha agar tidak membuatnya tersinggung.

"Aku sangat berterima kasih atas kebaikan hatimu itu, tetapi-"

"Kau menolakku?", Zeroone mengambil kesimpulannya. Dan ya, memang benar. Meski kata menolak bukanlah kata yang tepat.

Aku berhasil berdiri di sisi ranjang dengan Zeroone yang mengikuti. Pria itu berdiri di hadapanku bak dinding beton yang kokoh. Terasa melindungi sekaligus menakutkan.

"Kumohon jangan salah paham, hanya saja kurasa saat ini bukan waktu yang tepat", kau bodoh Alana, mengapa menjawab seperti itu. "Te, temanku saat ini sedang menungguku, mungkin juga mereka sedang mencemaskanku."

"Benarkah?" tanya Zeroone lagi. seolah apa yang kukatakan tidak cukup meyakinkannya.

Aku hanya bisa meremas-remas kedua tanganku. Entah mengapa rasanya begitu sulit berbohong di depan orang ini. "Zeroone, kumohon mengertilah..." akhirnya aku terlihat seperti orang bodoh saat ini.

Hening sejenak. Zeroone hanya menatapku dengan pandangan yang-entahlah, aku sulit membacanya. Topeng hitam yang dikenakan pria ini benar-benar penghalang bagiku.

Tetapi, saat kulihat senyum yang menghiasi wajah pria itu, aku akhirnya bisa menyimpulkan kalau ia tidak marah padaku. Setidaknya itulah yang kupikirkan.

"Ka, kalau begitu boleh aku permisi."

Zeroone mengangkat sebelah tangannya. "Sebentar", dengan langkah sigap ia segera mengenakan kembali pakaiannya.

Oh Tuhan. Aku bahkan tak mampu memalingkan wajahku meski hanya sedetik saja. Zeroone terlalu memukau, terlalu sempurna untuk di acuhkan begitu saja.

"Biar kuantar", ujar pria itu.

Aku hanya bisa membalas dengan senyuman sambil mengikuti langkah pria itu. Yang berjalan dengan gagahnya di depanku. Zeroone bahkan dengan begitu baik hati membukakan pintu untukku.

Namun, satu hal. Genggaman tangan pria itu yang secara tiba-tiba, membuatku spontan berdebar dengan begitu kerasnya. Sesak seolah memenuhi rongga dadaku. Aku, biasanya bukanlah wanita yang mudah dekat dengan seorang pria.

Mr. GentlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang