#03

23.7K 1.2K 25
                                    

"Jadi nama anda, nona Alana?"

Aku terpana, tenggorokanku seolah tercekat. Katakankan aku kini mendadak menjadi seorang gadis perawan mesum yang tak mampu mengedipkan matanya hanya karena dihadapkan dengan seorang pria setinggi dan se sexy ini.

"Y- ya, cukup panggil aku Alana", syukurlah aku berhasil menelan ludah dengan susah payah.

Zeroone tersenyum. Aah, bahkan pria itu begitu elegan saat tersenyum.

"Kau gadis yang menarik Alana", entah itu pujian atau sindiran. Alana tidak tahu. "tapi, alangkah baiknya jika kita berpindah tempat." Zeroone melirik sebentar ke arah belakangku lalu melingkarkan lengannya yang besar di pinggangku. "mari...."

Aku mengikuti langkah pria itu sambil sesekali melirik jemari kekar yang sedikit menekan kulitku. Jujur, aku merasa sedikit geli karena pinggangku adalah salah satu area sensitif bagiku. Tapi meski demikian, aku merasa cukup nyaman mendapat perlakuan ini.

Zeroone, yang bertubuh tinggi kekar, terasa begitu melindungiku. Aku yang bertubuh kecil dan memiliki tinggi badan yang bisa dikatakan tidak semampai.

Kedua mataku memperhatikan sepanjang lorong yang kami lewati. Oh Tuhan, sebenarnya tempat apa yang kumasuki ini. Segalanya tampak di remangi cahaya. Aku bahkan beberapa kali memejamkan kedua mataku saat melihat beberapa pasang sejoli yang melakukan seks di sembarang tempat.

Mereka setengah telanjang di sudut ruangan, mereka bersenggama di atas sofa, mereka mendesah, menjerit dan melenguh seolah tidak ada lagi rasa malu di muka bumi.

Seolah rasa malu itu hanyalah sebuah halusinasi yang tidak nyata dan tidak pernah ada.

Zeroone menekan lagi pinggangku. Membuatku spontan mendongak dan kulihat ia tersenyum padaku. "Pejamkan matamu atau kau boleh memalingkan wajah jika kau merasa sudah tidak lagi mampu melihatnya, Alana."

Ya, harus kuakui. Apa yang dikatakan pria ini seratus persen benar. Aku merasa mual, jijik dan muak melihat segala hal yang terjadi di tempat ini.

Aku juga bukanlah gadis bodoh yang tidak tahu, apa sebenarnya tempat ini. Tapi... aku juga tidak memandang rendah mereka. Mungkin para lelaki itu bukan dengan sengaja bersedia melakukan pekerjaan kotor ini. Mungkin saja, mereka memang terpaksa melakukannya. Entahlah, mungkin memang benar begitu.

. . .

Hitam dan putih.

Aku memutari pandangan ketika memasuki ruangan yang berukuran segi empat itu. Ruangan yang di dominasi dengan warna hitam dan putih dengan nuansa maskulin yang kental.

Zeroone mempersilahkanku untuk duduk di sebuah sofa. Satu-satunya tempat selain ranjang yang bisa ku duduki. Biar kutebak, mungkin kamar ini juga salah satu tempat mereka melakukan hal itu.

"Sampagne atau bir?", Zeroone berdiri di dekat meja sambil menatapku.

Aku mengerjap, "Jus jeruk." dan aku tersadar, oh betapa mulianya aku. Ketika segala hal yang ada di tempat ini sudah amat mendukung untuk segelas alkohol, aku dengan begitu polosnya malah memilih untuk memesan jus jeruk.

"Alana, aku benar-benar minta maaf padamu, karena kebetulan di tempat ini... tidak ada minuman yang menyehatkan seperti, jus jeruk ataupun jus-jus lainnya." tutur Zeroone. Jika saja dalam situasi biasa dan yang mengatakan hal itu adalah sahabat priaku, mungkin aku sudah terbahak.

Tetapi lain ceritanya jika Zeroone yang mengatakannya. Pria itu bergerak dengan segala keelokan yang ada, tampak elegan, tutur kata yang halus dan suara berat yang tegas.

"Baiklah, apa saja selama bukan alkohol." aku berhasil menjawabnya.

Kulihat Zeroone menuangkan segelas air mineral dan membawakannya untukku. Kemudian duduk di sebelahku hingga kuputuskan untuk menggeser tubuhku. Setidaknya untuk menghidari segala hal yang diinginkan.

Mr. GentlemanWhere stories live. Discover now