The First Kiss....

15.6K 1.5K 50
                                    

Yang nunggu Neng Laras angkat tangan!

Maacih ya buat PO kalian, suka deh kalian ternyata respons sama proyek coba2 eike. Untuk berikutnya eike ga tau, mau self publish utk Sammika atau coba tawarin ke penerbit biar mereka manggung di tempat yg lebih luas. Liat nanti deh... sekarang ini ...

Hehehe....... enjoy yah....

Laras bergerak lincah di antara kendaraan yang berhenti di lampu merah. Ditangannya ada setumpuk koran pagi, sementara di bahunya melintang tas selempang besar berisi termos, yang memuat bungkusan-bungkusan nasi uduk buatan mamanya.

Satu minggu sudah Laras dan kedua adiknya menekuni kegiatan tambahan mereka, yaitu berjualan koran pagi dan nasi uduk. Laras mulai berjualan jam empat pagi sampai jam enam, lalu bersiap untuk berangkat kerja. Sementara adik-adiknya yang masih menjalani skorsing akibat belum membayar SPP, meneruskan sampai siang. Semula kedua orangtua mereka tidak setuju dengan kegiatan mereka, tetapi karena keteguhan hati Laras dan kedua adiknya, ditambah keadaan yang memang sulit, izin pun diberikan, meski dengan berat hati dan tidak tega.

Seminggu setelah ketiga kakak adik itu menjalani kegiatan yang cukup berat itu, hasilnya pun mulai terlihat. Setidaknya lebih dari separuh biaya yang harus dibayarkan, sudah terkumpul.

Bunyi klakson yang memekakkan telinga memberitahu Laras kalau lampu merah sudah akan berganti hijau. Dengan cepat dia menyeberang, dan tiba di trotoar dalam sekejap. Dilapnya peluhnya yang membulir, dan dengan langkah lesu dia melangkah menuju ke halte. Beberapa saat dia duduk dan menunggu, sampai Arya, salah satu dari adik kembarnya menghampiri.

"Mbak Ras kenapa?" Arya yang melihat wajah kakaknya yang pucat bertanya.

Laras menggeleng. "Enggak tau, Ya. Kayaknya dari tadi muter deh pandangan Mbak," Laras menjawab sambil menyandarkan kepalanya ke tiang halte.

"Yah ... terus ... mau kerja gimana dong?"

Laras menutup matanya sejenak. "Enggak pa-pa lah. Paling juga bentar lagi sembuh," dengan susah payah dia bangkit dan menyerahkan bawaannya pada Arya. "Nih ... terusin yah ...."

Arya mengangguk. "Okeh, Mbak. Eh ... betewe ... uangnya dah ngumpul berapa, Mbak?" tanyanya.

Laras terlihat berpikir sejenak. "Mmmm ... kalo enggak salah udah cukup kalo kita jualan seminggu lagi. Asal jangan dipake sedikit pun." Jawabnya.

Arya tepekur. "Berarti seminggu lagi dong, Arya sama Dimas nganggur?" keluhnya.

Laras tersenyum. "Kan enggak nganggur juga? Kalian jualan sambil belajar, kan? Daripada ngeluh, mending kalian bersyukur. Untung kita masih bisa nyari tambahan, kan?" sarannya.

Arya tersenyum juga. "Iya, sih. Makasih Mbak, udah ngasih modal buat kita jualan, terus udah ikutan susah lagi sama kita. Padahal kalo Arya sama Dimas pinternya sama dengan Mbak Laras dan Mbak Kiran, pasti kita enggak perlu sesusah ini, ya? Kan SPP sekolah negeri gratis....."

"Ih ... ngapain sih nyeselin yang udah kejadian? Udah sana ... bentar lagi lampu merah, tuh ...."

"Okeh."

"Eh, Ya. Jangan lupa, bilangin Dimas, Mbak berangkat dulu, ya?"

Arya membuat lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya. "Oke ...."

Penuh rasa sayang, Laras mengacak rambutnya, lalu dengan langkah sedikit terhuyung dia berlalu menuju ke rumahnya. Dia harus bersiap-siap untuk berangkat kerja.

Namun, alangkah menyiksanya saat rasa pusing yang dialaminya sejak subuh tadi, masih saja dia rasakan sampai saat keberangkatannya. Dengan pandangan berkunang-kunang dia menunggu kedatangan bus yang biasanya dia naiki untuk sampai ke kantor, dan setelah beberapa menit berdiri, Laras sadar kalau dia takkan sanggup meneruskan perjalanannya. Dia mulai merasakan kesadarannya menipis, ketika sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di hadapannya.

My Morning Sunshine (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang