Gadis Kecilku Yang Kuat......

17.4K 1.5K 65
                                    

Hai.....apa kabar kalian semua? Readers eike yang caem? Nih eike aplod revisi Laras-Adriannya dikit yah.......so enjoy....

Laras menghela napas untuk kesekian kalinya. Diarahkannya matanya ke tugu Monas di kejauhan, meski pikirannya sama sekali tidak tertuju pada lambang kebanggaan kota Jakarta itu.

Hari ini dia kembali berangkat bekerja dengan perasaan berbeban, dan meskipun dia sudah sebisa mungkin menghilangkan kegundahannya agar bisa bekerja dengan baik, tetapi saat jam istirahat seperti sekarang ini, dimana dia sedang tidak mengerjakan apa pun, ingatannya pun kembali pada percakapan dengan Ibunya pagi ini. Percakapan yang membuatnya merasakan kesedihan.

"Mama bingung, Ras. Kalau Mama enggak bayar SPP Arya sama Dimas, mereka bakal diskors, karena sudah tiga bulan kita nunggak. Seandainya gaji Papa yang ketiga belas sudah cair pun ... tetap aja enggak cukup. Kan SPP mereka dobel. Mama bingung, mau pinjam sama Mbah Putri, sudah kebanyakan, Laras tahu sendiri Mbah Putri. Takutnya ngungkit lagi deh, masalah katanya Papa enggak bisa nafkahin keluarganya. Sudah begitu, Papa cuma diem ajah ... enggak ngomong apa-apa. Mama ngerti, Papa pusing, tapi paling enggak, omongin kek sama Mama ... biar bisa diskusi cari jalan keluar ...." Ibunya mengeluh panjang lebar.

"Terus ... Mama mau, Laras bantu pinjemin dulu sama Mbah?" Laras bertanya.

Ibunya menggeleng cepat. "Ya enggaklah, nanti malah Laras yang kena diomelin. Dulu waktu Laras yang sekolah aja, kita terlalu sering pinjem uang sama Mbah Putri untuk beli buku Laras, kan?" tolaknya.

Ibu Laras menghela napas, lalu duduk di kursi reyot yang ada di dapur. Dia menyandarkan kepalanya ke dinding dan memejamkan mata.

"Udahlah....Laras siap-siap aja kerja. Biar Mama mikir dulu deh mau gimana," katanya kemudian sambil mengibaskan tangannya menyuruh Laras bersiap.

Laras berdiri gamang di tempatnya. Hatinya hancur jika sudah melihat ibunya kehabisan akal seperti itu, karena biasanya ibunya adalah seorang yang ceria. Tadi pun Laras sempat melihat ayahnya yang seperti orang linglung saat akan berangkat bekerja. Bahkan ayahnya berangkat jauh lebih pagi dari biasanya, dan itu hanya berarti satu hal. Beliau tidak punya ongkos untuk transport, dan berniat jalan kaki ke kantornya yang letaknya jauh di daerah Jalan Sudirman. Padahal untuknya, ayahnya sempat memberikan ongkos bus. Itu berarti, ayahnya lebih memilih untuk jalan kaki agar Laras bisa naik bus ke kantornya.

Saat melihat ke lunch box yang ada di tangannya saat ini, yang hanya berisi nasi goreng dengan bumbu bawang putih dan cabai, tanpa tambahan telur atau bahan lainnya, hatinya semakin terasa pedih. Tadi pagi ibunya memasak nasi goreng ini hanya untuk dia dan dua adiknya, dan Laras yakin kalau baik ibu, maupun ayahnya, sama sekali tidak makan siang ini. Pengorbanan mereka, semakin membuat Laras trenyuh, dan sedih karena tidak mampu melakukan apa pun untuk membantu mereka. Hari pembayaran gaji masih seminggu lagi, dan dia baru bekerja selama tiga minggu di tempat ini, mungkin gaji yang diterimanya juga tidak utuh, jadi dia harus bagaimana?

Bunyi derak pintu besi yang dibuka di belakangnya membuyarkan lamunan Laras. Bergegas dia mengubah mimik mukanya, karena tidak ingin boss-nya yang baik hati, yang selama ini sudah menyempatkan diri untuk makan bersamannya, tahu apa yang sedang dia rasakan. Orang lain hanya boleh melihat keceriaannya, karena jika dia ceria, orang di sekitarnya ikut ceria, dan kalau dia bersedih, maka kesedihannya juga bisa menular. Itu yang dia tahu.

Wajah tampan yang sudah cukup akrab dengannya akhir-akhir ini terlihat semringah. Wajah tampan milik Adrian, yang mendekat sambil membawa sebuah rantang susun di tangannya.

"Kamu belum menunggu terlalu lama, kan?" Adrian bertanya, sambil meletakkan rantangnya di langkan beton tempat Laras duduk. Dia sendiri ikut duduk di sisi Laras.

My Morning Sunshine (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang