sembilan belas

881 66 1
                                    

SENJA

Senja melipat kertas origami menjadi burung. Ia mulai menghitung berapa banyak yang sudah dilipat. Ia memperhatikan meja anak didiknya satu persatu. sepuluh, dua belas, lima belas, dua puluh. Pas sekali.

"Ayo, sekarang kita gantung ya."

"Nggak mau...." Jerit seorang anak di belakang.

"Mau bawa pulang buat Mama."

"Nanti, Mama dapat hadiah sendiri." Senja tersenyum, lalu berjalan meraih benang, gunting, dan lem. "Ayo, sini, yang sudah, bawa ke Kakak."

Satu persatu dari mereka maju dan menyerahkan burung lipat nya. Senja sibuk menggunting benang, melubangi kertas lipat, dan menyusupkan benang. Semua ia lakukan sangat cepat. Hingga ke dua puluh anak didiknya sudah memegang burung dengan benang terikat di atasnya.

"Mau digantung dimana?"

"PAPAN TULIS!!"
"PAPAN BINTANG!!"

"DI LANGIT BIAR BISA TERBANG!!"

Senja tertawa. "Ya udah, kita gantungnya di bagi-bagi. Siapa yang mau digantung di papan tulis?"

4 dari 20 anak mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan terkekeh.

"Sini, maju."

"Nah, udah. Yang mau digantung di papan bintang?"

3 dari 20 anak berlari menyerahkan burung origami mereka.

"Terakhir di langit-langit, ya." Senja melirik ke langit-langit di atasnya. Ia mendesah pelan. Bagaimana mungkin ia bisa menempelkan benang itu disana. Meskipun, ia sudah menggunakan tangga dari ruang penyimpanan di belakang, ia ragu ia bisa meletakkan tangannya disana.

Suara pintu daycare terdorong, membuat Senja menoleh. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Senja hampir-hampir menjatuhkan burung-burung origami yang ia pegang.

***

ARGA

Arga sudah menunggu di mobil selama lebih dari 45 menit. Ia terlalu lelah untuk berpikir. Hatinya terlalu takut untuk melangkahkan kaki keluar dan berjalan masuk ke tempat penitipan anak yang mungil itu.
Arga tersenyum mengingat betapa rindunya ia dengan tempat itu. dengan bau lemon dan susu yang khas. Dengan suara tawa anak kecil yang selalu memenuhi tempat. Dengan atmosfer bahagia yang melingkupi. Terlebih lagi, ia rindu cintanya. Ia rindu sumber kebahagiannya. Yang kini sedang disana. Yang sedari tadi sibuk berkutat dengan kertas origami.

Arga memberanikan diri mematikan mesin mobil, dan berjalan keluar.

Ia menatap Senja dari balik kaca di pintu. Gadis itu terlihat kuyu, wajahnya tidak seceria dulu. Senyumnya pun terlihat kelelahan. Wajahnya pucat, membuat Arga ingin mendobrak pintu dan segera memeluk Senja.

Setelah dipikir-pikir, ide mendobrak pintu sangat amat tidak dianjurkan. Selain harus berhadapan dengan 20 anak kecil yang menangis menjerit-menjerit karena terkejut, Senja pasti akan menendangnya keluar.

"Sini, aku yang tempel."

Ketika melihat wajah kaget Senja, mau tak mau, Arga tersenyum kecil. Namun, dalam hati, ia merasa marah. Segitu bodohkah dirnya, yang melupakan Senja begitu saja, hingga Senja seperti melihat setan.

Senja dengan kaku menyerahkan origami yang sedari tadi ia pegang. Arga dengan sengaja, menyentuh jari cewek itu, yang terasa sedingin es. Apakah ia gugup? Sama seperti dirinya?

Senja berjalan ke belakang dan kembali dengan tangga.

"Kakak... siapa?" seorang anak laki-laki menarik-narik kaus Arga.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang