dua belas

858 70 0
                                    

ARGA

Arga berani bersumpah, jantungnya seakan berhenti berdetak. Pertanyaan dari Senja barusan benar-benar sepele. Tetapi, untaian kata itu seperti menohok hati Arga. Bagaimana bisa... Apakah... Darimana Senja bisa tahu?

"Arga?" Senja berkata pelan sekali. Mungkin merasa ragu setelah melihat air muka Arga.

"Kamu tahu darimana, Ja?"

"Tadi denger Ibu sama Kakak kamu ngomong. Aku nggak bermaksud nguping, cuma kedengaran aja."

"Oh."

Senja tidak bersuara. Ia hanya menatap Arga dalam diam.

"Alda itu mantan aku."

Senja masih tidak bersuara.

"Putusnya udah lumayan lama kok. Sebelum naik kelas 11. Bukan anak sekolah kita," Arga terdiam sebentar, menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan, "Kamu, ngingetin aku banget tentang Alda."

"Oh."

"Mulai dari rambut kamu, wangi parfum kamu, muka kalau lagi bete, cara ketawa.."

"Kamu masih sering keinget Alda, kalau lagi sama aku?"

"Nggak. Nggak sesering dulu."

Senja tidak melempar pertanyaan lagi. Diamnya mereka ditemani oleh suara jatuh air hujan yang kian lama kian jarang. Angin juga berhembus lembut, tidak seperti tadi yang awut-awutan.

"Kamu masih sayang sama Alda, Ga?"

Arga ingin menjawab tidak. Entah kenapa, lidahnya terasa kelu. Mulutnya terbuka sedikit, tetapi, tidak ada satu pun kata yang keluar dari sana. Ia hanya menatap hujan yang kini menyisakan rintikan. Ia tidak tahu apakah Senja menanti jawabannya, atau Senja sudah menduga bahwa reaksi Arga akan seperti ini. Yang jelas, sepotong pertanyaan yang tadi Senja lemparkan, dibiarkan menggantung di udara. Tanpa jawaban dan menyesakkan.

***

SENJA

Ia tidak jadi menginap. Ia mengurungkan niat untuk berlama-lama di rumah Arga. Ketika Arga menawarinya pulang pun, ia menolak. Ia butuh waktu untuk sendiri, ia butuh waktu untuk berpikir.

Di dalam taksi, pikiran Senja tak henti-hentinya menunjukkan Arga. Senja tertawa pahit jika mengingat bahwa ia bukan siapa-siapa Arga. Ketika Arga mengatakan tentang 'calon pacar' pun, rasanya seperti bukan apa-apa. Arga memang suka bergurau. Hal itu tidak ada artinya, sama seperti candaan yang selalu Arga katakana. Namun, jujur, belakangan ini, ada rasa janggal yang melingkupi hati Senja. Ia selalu ingin bertemu Arga. Sekedar mendengar tawa atau candanya, Senja senang. Atau melihat senyumnya ketika mereka berpapasan di koridor.

Setelah menguping percakapan ibu Arga dan kakaknya tadi, Senja jadi berpikir 2 kali untuk tidak menahan hatinya. Kakaknya mengatakan "Nggak kok, dia nggak mirip Alda. Lebih fun." Dan ibunya menjawab, "Iya emang. Itu adek kamu bilang gitu soalnya masih nggak bisa lupa sama cewek itu." Senja yakin mereka tidak bisa melihat Senja dari balik dinding. Dalam perjalanan menuju rumahnya—yang terasa sangat jauh—Senja jadi ingat, dia bukan apa-apa di mata Arga. Hanya seseorang yang mirip mantannya, dan dijadikan perantara untuk selalu ingat. Tetapi, Arga? Arga punya tempat penting di hidup Senja. Arga adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya lupa dengan semua masalahnya. Arga adalah satu-satunya orang yang bisa mengangkatnya dari kesedihan. Arga adalah pion penting dalam hidup Senja.

Senja bahkan tidak yakin jika ia akan bertahan lama dalam hidup Arga. Mungkin, setelah Arga bosan dengannya, ia akan mengabaikannya. Membiarkan memori tentang Senja tersimpan rapat di belakang kepalanya. Tidak terusik dan tidak akan dikenang kembali.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang