Seksi Agama

7K 262 24
                                    

Kelas itu mendadak sunyi ketika Bu Klara masuk ke dalam ruang kelas. Ia meletakkan tas berisi laptop dan juga buku absen kosong ke atas meja.

"Selamat pagi, anak-anak"

"Pagi, bu!!" Jawab seisi kelas bersemangat.

"Nama saya Klara Santi. Kalian bisa memanggil saya Ibu Klara. Mulai hari ini saya akan menjadi wali kelas kalian. Apakah kelas ini sudah membuat organisasi pengurus kelas?" Bu Klara memandang siswa yang duduk di depan mejanya.

"Sudah, bu. Ketua kelas Dandy Ramadhan, wakilnya Winda Adriyani, sekretaris saya sendiri, dan bendahara Sasi Sartika." Jawab Fadel, siswa yang duduk tepat di depan meja guru.

"Bagus. Dan saya juga ingin perwakilan seksi agama satu orang dari masing-masing agama." Perintah Bu Klara tegas.

Maka terpilihlah Leo dari agama Kristen Protestan dan Monica dari agama Buddha. Sedangkan dari agama Islam, masih dirundingkan antara Isna dan Zikry.

"Bu Klara, saya rasa Isna lebih cocok jadi seksi agama karena dari yang saya kenal dia orangnya baik, punya kepribadian yang baik juga, dan pasti agamanya taat, bu." Imelda memberikan suara kepada sahabatnya itu.

"Baru kenal sehari aja sok tau banget.." Di pojok kiri barisan kedua Eva memasang senyum sinis.

"Gak perlu kenal sampe bertahun tahun ya buat kita mengenal orang itu baik apa engga. " timpal Imelda.

"Idih, sok akrab banget lo. Baru kenal sehari doang. Pantes, lo kan ganjen." Eva mendelik sinis.

"Lo kenapa sih sirik banget sama gue? Bilang ini salah, nawarin Isna salah. Lo mau gue diem?" Imelda telah kehilangan kesabarannya.

"Tuh elo tau.." balas nya yang sedang menantang pandangan Imelda.

"Kasih alasan kenapa gue ga bisa milih Isna!" Tantang Imelda.

"Oh itu gampang banget. Pertama, kita ga tau kan latar belakang Isna itu siapa? Sedangkan Zikry udah jelas-jelas anak ustadz, suka ceramahin kita. Solatnya juga nggak pernah bolong. Sedangkan Isna? Dia cuma murid biasa yang baru kita kenal!"

"Terserah apa kata lo! Keputusan tetap ada di tangan murid-murid lain, Va. Bukan cuma lo."

"Ma.. Maaf.." Isna angkat bicara walaupun takut-takut. "Sa.. Saya merasa kurang percaya diri kalau menjadi seksi agama, jadi.. Tolong pilih Zikry saja, karena dia memang pantas dan ilmunya lebih tinggi dibanding saya."

Bu Klara memasang kacamatanya. "Baiklah kalau begitu. Seksi agama telah dipilih. Yaitu Leonardo Sirua, Monica dan Zikry Prismadani. Saya harap kalian mampu menjalankan tugas dengan baik." Tuturnya.
Eva menyeringai senang.

"Oh iya. Anak anak tolong berbenah-benah, saya mau dalam tiga menit kelas X IPS 2 sudah kosong."

"Memangnya kita mau kemana, bu?" Tanya Dandy.

"Kita akan pindah ke kelas X IPS 1." Tegas Bu Klara.

Kelas mendadak sepi, sunyi.

"Ta.. Tapi, bu.. Kelasnya kan udah lama kosong." Miranty tergagap.

"Lalu kenapa?" Tanya Bu Klara.

"Ka.. Ka.. Kata kepala sekolah, gak boleh ada yang masuk ke dalam kelas itu, bu." Kali ini Jaid menimpali.

"Saya sudah berbicara dengan kapala sekolah dan beliau menyetujuinya. Tidak ada lagi alasan, saya hanya ingin kelas ini kosong dalam tiga menit." Ucapan Bu Klara tak terbantahkan.

Murid-murid X IPS 2 segera membereskan mejanya. Memasukkan buku dan peralatan menulis ke dalam tas.

"Seksi perlengkapan siapa?" Tanya Bu Klara.

"Eva dan Imelda, bu."

"Tolong kalian berdua ambil kunci X IPS 1 ke Pak Wido. Saya mau ke kantor dulu."

"Iya, Bu." Sahut Eva dan Imelda bersamaan.

Setelah Bu Klara pergi, kedua siswi itu mengambil kunci gembok ke ruang Pak Wido. Dan selama perjalanan menuju ruangannya, Eva tak pernah berhenti mencibir Imelda.

"Susah ya, jadi cewek cantik tapi keganjenan.." Eva memulai.

"Lo ngatain gue?" Imelda tidak terima.

"Dih, ngerasa' ya.. Berarti emang keganjenan dong.."

"Tuh mulut dijaga ya. Gue lagi males berantem sama lo!" Imelda terlihat kesal, jadi ia mempercepat jalannya.

Sesampainya di depan ruang kepala sekolah, Eva dan Imelda bertemu dengan Pak Wido.

"Permisi, Pak. Bu Klara menyuruh kami untuk mengambil kunci gembok X IPS 1 ke bapak."

"Ada di dalam laci saya. Tunggu sebentar." Pak Wido masuk Ke dalam ruangan sebentar lalu keluar lagi dengan gantungan kunci di tangan.

"Ini dia. Oh tunggu sebentar. Kalian serius ingin pindah ke X IPS 1?" Tanya Pak Wido khawatir.

"Sebenarnya kami nggak mau, Pak. Tapi ya sudahlah, ini sudah perintah Bu Klara dan kami harus mematuhinya.." jawab Eva santun.

"Memang benar-benar ya, Bu Klara. Murid pintar dan sopan seperti kalian seharusnya tidak harus terganggu dengan keadaan kelas X IPS 1." Wajah Pak Wido memerah, tandanya ia marah.

"Selama ada Bapak dan guru-guru lain yang memberi semangat, kami pasti akan terus giat belajar, Pak." Eva tersenyum anggun.

Imelda yang mendengar tersebut seketika mual. "Pak, saya ijin ke toilet. Permisi.." Imelda pun berlalu dari hadapan Pak Wido. Eva juga bergegas kembali Ke dalam kelas.

"Ada kepala sekolah aja tu anak sopan banget. Coba deh kalo ga ada siapa siapa. Itu mulut malah ga bisa direm." Gerutu Imelda yang sedang mencuci tangannya di wastafel toilet.
Saat ia me lap tangan, tiba-tiba bulu kuduk Imelda merinding.

Ia memperhatikan ke sekeliling toilet yang sepi. Ia merasa seperti ada seseorang yang sedang mengawasinya padahal hanya ada dia sendiri di dalam sana.

Tiba-tiba terdengar suara air di dalam salah satu bilik toilet. Jantung Imelda berdegup kencang tak karuan. Suara air telah berhenti.

Lalu tanpa disangka ada sosok tangan dingin yang menyentuh pundaknya dari belakang.. dan memanggil namanya.

"Imelda.."
Imelda..." Kata suara itu pelan. "Imelda.." suaranya semakin nyaring.

Dengan tubuh gemetar, Imelda memberanikan diri untuk menoleh.
Perlahan namun pasti..

Pemilik tangan itu adalah... Isna.

"Huh, lo bikin gue panik aja tau!" Imelda menghembuskan napas lega.

"Duh, maaf ya. Saya nggak bermaksud nakutin kamu kok. Tapi suara saya memang pelan begini.."

"Terus kenapa tangan lo dingin banget? Kayak mayat tau."

"Masa dingin sih?" Isna menempelkan tangannya ke pipi. "Nggak kok. Perasaan kamu aja kali. Bu Klara manggil kamu, kata Eva kamu ada di sini jadi saya nyamperin kamu. Balik yuk?" Ajak Isna.
Imelda mengangguk dan keluar dari dalam toilet.

"Na, kok gue ngerasa kalo sekolah kita ini ada hantunya, ya?"

"Saya juga ngerasa begitu. Kamu tau gak, waktu saya nyusul kamu ke toilet tadi, saya kayak ngeliat ada ada anak-anak cowok main basket di lapangan. Tapi waktu di dekati mereka tiba-tiba aja ngilang. Terus saya nanya sama Ka Yahya yang kebetulan lewat, terus dia bilang abaikan aja. Maksudnya apa?"

"Lo serius liat ada murid main basket? Terus ka Yahya bilang abaikan aja?" Imelda menampakkan raut muka tak percaya.

"Iya." Isna mengangguk.

"Berarti lo ketemu hantu, Na! Hantu!!" Imelda menjerit heboh. Untung saja mereka masih di dekat toilet yang jauh dari kelas. Kalau tidak, jeritan tadi bisa menjadi gempar satu sekolahan.

"Gue takuuut!" Imelda memeluk tangan Isna erat.

"Kita positif thinking aja, oke?"
###

Foto di atas adalah Ibu Klara.

<Aku tantang kamu baca cerita ini malam hari sendirian di dalam kamar dengan lampu yang padam.
Jika berhasil, kamu harus langsung tidur dan jangan buka matamu sampai pagi datang.>

Ada Hantu Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang