Pencarian Penyempurna

Magsimula sa umpisa
                                    

"Yang harus disalahkan adalah Dya, bukan saya," tukas Andreas sambil memegang leher yang agak nyeri. "Dia bukan istri yang baik karena dia pergi tanpa izin."

Herman tak sempat menjawab sebab petugas sudah menggusur ke lapas. Padahal ia ingin sekali menghajar menantunya sampai bonyok. Ia merasa ditipu. Dikhinatani! Janji Andreas yang akan menjaga Laudya ternyata hanya dusta. Sialan!

Seharian itu Andreas tidak pulang. Semakin mendidih ubun-ubunnya saat Laudya tak juga ditemukan, bahkan ketika waktu melompat ke hari berikutnya. Tapi meskipun badan lelah karena tak henti menyisir Ibu Kota, Andreas belum mau berhenti. Ia datang ke destinasi selanjutnya, yakni tempat orang-orang tak berotak. Merekalah teman-teman Laudya.

"Lah, baru sekarang, nih, Laudya ninggalin lo?" si Botung Nuri mengomentari dengan nada mengejek. "Kalau gue jadi dia, gue sudah tinggalin lo dari dulu."

Sialan! rutuk Andreas dalam hati. Kalau saja punya banyak waktu, ia pasti membalikkan hinaan tersebut. Awas kamu, Botung! Kamu akan menyesal.

"Alhamdulillah. Akhirnya Dya sadar. Harusnya dia pergi dari dulu, Ndre."

...

"Jangan khawatir, Ndre. Ada internet, kok. Cari saja pakai Google. Pasti ketemu."

...

"Nggak tahu, tuh. Gue senang banget dengarnya. Tuhan sudah memberi petunjuk terbaik buat Laudya. Hahaha."

...

Andreas mengacak rambut dengan kasar. Teman-teman Laudya yang tak berotak itu malah menghinanya. Bilang kalau ini anugerahlah, ini petunjuk Tuhan buat Laudyalah, dan kata-kata lain yang tidak pantas diucapkan. Tak tahukah kalau Andreas sudah pusing sembilan keliling?

Dua hari kemudian pencarian masih tak menghasilkan apa-apa. Andreas mengeparatkan urusan kantor, juga telepon dari ayahnya. Tak terhitung berapa kali ia isi bensin untuk mengitari Kota Jakarta demi mencari istrinya. Tak terhitung pula berapa kali ia isi pulsa untuk menelepon orang-orang yang mungkin bisa memberi petunjuk.

"Jadi, Bu Dya benar-benar pergi?" Perkataan Dokter Yani yang tenang membuat alis Andreas menekuk ke pusat dahi. "Biarkan saja, Pak Andre. Bu Dya memang butuh waktu sendiri."

"Apa maksud Anda?"

"Bu Dya ingin lepas dari Anda beberapa waktu. Sayalah yang memberi saran begitu."

"Apa?!" Memerah muka Andreas mendengarnya. "Jadi ini permainan Dokter? Istri saya pergi karena anjuran Anda?"

"Sabar dulu, Pak Andre." Dokter Yani masih kelihatan tenang. Ia memang sudah berpengalaman menghadapi berbagai jenis manusia. Ia psikiater. Pasiennya aneh-aneh. Ada yang tertawa sepanjang keluhan, ada yang menangis saat menceritakan keadaannya, bahkan yang sebentar menangis sebentar tertawa pun banyak.

"Dokter harus mempertanggungjawabkan hal ini." Andreas melipat tangan di dada, muka terangkat, dan wajahnya terkesan angkuh. "Saya lapor polisi!"

"Silakan saja lapor pada yang berwajib. Saya tidak takut."

Andreas meremas tangan hingga buku-bukunya memutih. Si Tua Bangka ini mau main-main rupanya. Uh, ingin sekali Andreas menusuknya pakai jarum. Biar badan yang gendut itu bisa meletus.

"Tapi sebelum itu, apakah Bapak tahu alasan Bu Dya pergi?"

"Dia terkekang oleh saya."

"Nah, itu Bapak paham."

"Yang saya nggak paham justru alasannya. Kenapa dia terkekang? Saya suami yang baik. Apa-apa yang ia butuhkan tersedia lengkap. Harta, jiwa, raga, pokoknya semuanya lengkap. Apa yang kurang dari suami sesempurna saya?"

Dokter Yani mengurai senyum. "Yang Bapak katakan memang benar. Bu Dya pun menilai Anda seperti itu. Anda suami yang baik dan sempurna."

Kan, sudah kubilang dari tadi. Aku ini suami yang baik. Aku sempurna.

"Tapi, Pak, bolehkah saya tanya sesuatu?" Dokter Yani lagi-lagi tersenyum. "Apa alasan pria sesempurna Anda mau menikah dengan Laudya?"

*
*
*

"Kamu itu suaminya! Bagaimana bisa istri kamu hilang seperti ini?"

Prasetyo langsung murka ketika anak bungsunya datang. Ia memanggil Andreas ke rumah untuk memberi peringatan sebab sudah tiga hari tak masuk kantor. Semua kerjaan terbengkalai dan klien-klien protes. Begitu Andreas menjelaskan, kemarahannya beralih subjek.

"Andre juga nggak tahu, Yah. Orang-orang bilang dia terkekang."

"Omong kosong," cibir Triana. "Ada-ada saja kelakuan istri kamu."

"Kamu sudah cari ke mana saja?" Amzar ikut bersuara. Ia terpaksa meninggalkan laboratorium kala ibunya melaporkan masalah si bungsu.

"Semua tempat sudah Andre telusuri. Bekas rumah, teman-temannya, lapas ayahnya, klinik Dokter Yani, dan rumah sakit Livia."

"Bagaimana dengan Dion?"

Andreas langsung diam atas pertanyaan Amzar yang tiba-tiba. Benar juga, batinnya dengan kemarahan yang mulai mendidih. Selama ia mencari, tak sekali pun bertemu Dion.

Dia pasti yang membawa Dya! Sialan! Dasar pencuri! Istri orang berani diembatnya juga!

"Akan Andre cari Dion secepatnya."

Prasetyo menghela napas. Ia sudah siap dengan ponsel. Tinggal pencet beberapa tombol, maka menantu tengilnya bisa ditemukan oleh kaki tangannya.

"Ayah mau apa?" tukas Andreas sebelum ayahnya siap menelepon.

"Tentu saja cari istri kamu," celetuk Triana. Ia juga sudah siap dengan gawai. Meski Laudya adalah sumber darah tingginya, ia masih seorang ibu. Kasihan kalau Andreas kelimpungan sendiri.

"Kalian nggak usah ikut campur!" Andreas melarang. Ia sangat tahu tabiat keluarganya. Ketiganya tak mungkin hanya menemukan Laudya. Mereka pasti memberi pelajaran setimpal sebelum mempertemukan dengan Andreas.

"Kamu gimana, sih? Kenapa kami dilarang ikut campur?" Amzar sewot.

"Laudya itu istri Andre. Andrelah yang akan menemukannya."

"Kamu bilang sudah mencari dia ke mana-mana, tapi nggak berhasil. Lalu kenapa kamu tidak membiarkan kami ikut cari?"

"Ini masalah rumah tangga Andre, Bu. Biar Andre yang urus."

"Masalahnya, hal ini sudah menggusur kamu pada kelalaian. Terutama soal kantor."

"Lama-lama berita ini akan nyebar. Itu bakal jadi aib buat keluarga kita."

"Ibu sama Ayah benar, Ndre. Masalah ini harus diselesaiin secepatnya. Maka dari itu, biarkan kami bantu cari Laudya. Agar semua tenang."

Andreas menggaruk rambut dengan kasar. Kantor, harga diri, dan ketenangan. Kenapa yang mereka pikirkan cuma itu, sih?

"Andre tekankan sekali lagi. Cuma Andre yang boleh nemuin Dya. Titik!"

-bersambung

FilantropiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon