"Kamu tahu dia, Ra?" Dinda memotong ucapannya.

"Kemarin dia bela-belain datang ke kafe ngejemput Vale. Dia serem tapi kadang kelihatan cool banget deh. Coba kalian ngelihat kemaren. Sepertinya dia cinta mati sama kamu, Vale." Indira mengemukakan hipotesisnya dengan bersemangat.

Valeria menjadi antusias mendengar kata cinta yang diucapkan Indira. Benarkah Sean terlihat seperti itu padanya? "Masa sih, Ra?"

"Lha, kok malah balik nanya ke Indira,sih? Yang pacaran siapa coba?" Dinda berkomentar dengan nada penuh rasa heran.

Valeria kembali menegakkan tubuhnya. Tadi ia sempat condong ke depan karena tertarik pada perkataan Indira. Ia menoleh ke samping dan mendapati Gwen menatapnya. Valeria merasa malu. Gwen pasti melihat gelagat anehnya tadi.

"Ngapain sih kita di kelas? Yuk kita nonton band aja di luar. Hari ini kelas kita manggung kan?" saran Maudy.

Mereka menyetujuinya dan akhirnya berjalan serempak menuju halaman depan sekolah. Beberapa anak kelas lain melihatnya dan berbisik-bisik seakan membicarakan dirinya. Gara-gara perkataan teman-temannya ini, Valeria mendadak jadi paranoid. Baper kalau istilah gaulnya.

Sepanjang perjalanan, teman-temannya membahas perguruan tinggi yang sudah mereka dapatkan dan Valeria hanya mendengarnya dengan sedih. Ia merasa nasibnya begitu menggantung, baik itu kelanjutan pendidikannya ataupun kehidupan pribadinya. Ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya selama setahun ini dan juga tidak ada kejelasan dari Sean mengenai statusnya.

Beberapa bulan lagi setelah anak mereka lahir, Sean akan...

Valeria menghentikan langkahnya. Entah kenapa ia jadi memikirkan hal-hal yang membuatnya risau sepagi ini. Ia sebenarnya sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan terlalu memikirkan masalah yang membuatnya sedih. Kata mamanya, hal itu tidak baik bagi wanita yang sedang mengandung. Tapi bayangan berpisah dari Sean membuatnya...Entah apa yang dirasakannya. Ia pun tidak mengerti.

"Cokelat untuk gadis yang sedang bersedih."

Seseorang menyodorkan cokelat berbentuk bunga padanya. Ternyata Fabian yang sedang membawa sekotak cokelat. Valeria menatapnya lalu menatap cokelat yang disodorkannya.

"Itu memang dibagikan gratis, Val. Bukan dariku." Ia menyuruh Valeria mengambil satu dan Valeria berterimakasih padanya.

"Kenapa sedih?" Fabian bertanya.

Valeria tersenyum padanya. "Bukan apa-apa, hanya tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi yang kuinginkan" Ia berbohong. "Tapi tidak masalah, nanti kucoba lagi yang lain."

"Ohhh." Fabian tersenyum. "Kupikir kau bertengkar dengannya."

Valeria tertegun mendengar jawabannya dan tertawa. "Tidak mungkinlah, Bian. Kami jarang bertengkar."

Valeria berbohong lagi. Sebenarnya moto kehidupan rumah tangganya bersama Sean bisa dikatakan 'Tiada Hari Tanpa Bertengkar'. Tapi hanya pertengkaran konyol yang terjadi karena Sean selalu iseng padanya.

"Kau mencintainya ya?"

Pertanyaan Fabian membuatnya berhenti tertawa."A...Apa?"

"Kau mencintainya? Jika kau mengatakan padaku kau mencintainya, aku akan menyerah sekarang juga,Valeria." Fabian mengulangi ucapannya.

Valeria kebingungan. Apa ia mencintai Sean? Selama ini ia selalu memikirkan apakah Sean mencintainya, tapi bagaimana dengan perasaannya sendiri terhadap Sean?

"Aku..."

"Fabian curang! Masa Vale aja yang dikasi cokelat?!" ucapannya terputus oleh rombongan teman-temannya yang ternyata kembali setelah Valeria menghilang. Mereka langsung menyerbu Fabian dan cokelat-cokelatnya hingga ludes.

Valeria menatap pemandangan itu dengan masih terus memikirkan pertanyaan Fabian. Seseorang menepuk pelan pundaknya. Ternyata Gwen.

"Elo mikirin sesuatu ya Val? Dari tadi lo meleng aja."

Valeria akhirnya mengungkapkan segalanya pada Gwen, tentang kejadian sebelum Sean kecelakaan dan keresahan yang terjadi sesudahnya. Ia sungguh tidak sanggup menyimpan segalanya sendirian dan kebetulan Gwen adalah sahabat yang tepat untuk dimintai pendapat.

"Menurut gue suami lo itu sungguh menyebalkan, Val. Apa dia nggak peduli sama sekali tentang bagaimana perasaan elo? Sungguh nggak peka banget!" Gwen mengungkapkan kemarahannya.

"Tunggu, Gwen. Pertama kali bersama dia, aku juga merasakan hal yang sama denganmu, bahkan kebingungan sama perbuatannya. Tapi setelah kecelakaan itu, aku ngerasa...entahlah, mungkin bisa dibilang perasaan bersalah yang akhirnya berubah jadi rasa sayang." Valeria merona mendengar ucapannya. "Perbuatannya tidak pernah sama dengan apa yang diucapkannya, Gwen."

"Tapi itu sama aja boong! Sekarang dia ngegantung elo kayak gini. Itu lebih kejem dari tindakan apapun, Val. Terus dia juga nggak ngasi elo berhubungan dengan cowok manapun. Enak banget sih dia?"

"Iya emang sih. Tapi dia juga nggak pernah janji apa-apa sama aku sejak awal, Gwen. Emang seharusnya semua berjalan kayak gini. Dia juga bilang nggak akan berhubungan sama cewek lain selama denganku. "

"Terus elo percaya kata-katanya?"

Valeria menunduk. Apa ia percaya kata-kata Sean? Selama ini Sean tidak pernah memberikan jaminan apapun tentang hal itu. Sean hanya mengatakan ia tidak akan pernah berjanji atau mengikrarkan diri untuk suatu hal yang tidak akan ditepatinya.

"Aku percaya sama dia, Gwen..."

Gwen terdiam sejenak menatap sahabatnya itu.

"Kenapa, Val? Kenapa elo selalu ngebela dia meski gue ngucapin seribu keburukannya?" Gwen bertanya.

Valeria menaikkan wajah menatap Gwen dengan kebingungan. Ia memang menyadari sedari tadi ia selalu menyanggah perkataan Gwen dan seakan membela Sean. Ia hanya tidak ingin Gwen menganggap Sean seseorang yang jahat.

"Terus elo percaya banget kalau dia nggak bakal selingkuh dengan cewek lain hanya berdasarkan ucapan dia ke elo?" Gwen mendekati Valeria dengan raut wajah menginterogasi. Valeria merasa panik.

"Jangan bilang kalo elo jatuh cinta sama dia, Val!" Gwen menekankan perkataannya.

Valeria tersentak "Nggak! Nggak mungkin! Maksudku..."

Valeria kebingungan dan membalikkan badannya menghindari tatapan penuh intimidasi Gwen. Ia tidak ingin Gwen membaca wajahnya karena ia tidak pintar menutupi sesuatu dan ia tidak ingin mendengar sebuah kesimpulan dari Gwen tentang perasaannya pada Sean.

"Aku...nggak tahu, Gwen. Aku juga bingung sama perasaanku." Valeria menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Gwen merasa prihatin melihatnya dan menepuk-nepuk bahu Valeria. "Sorry, Val. Bukan maksud gue ngemarahin elo. Gue cuma nggak terima elo diperlakukan kayak gini."

"Iya, Gwen. Aku ngerti. Aku nggak marah kok. Aku tahu kamu peduli padaku." Valeria menghela napas.

"Gue nggak pingin ikut campur pada apapun tindakan elo, tapi saran gue cuma satu Val. Jangan sampai kamu jatuh cinta pada orang semacam itu."


***


(END) SEAN AND VALERIAWhere stories live. Discover now