"Kau tidak akan membiarkanku melihatmu dalam kondisi seperti ini lagi."

"Aku akan selalu sehat, Zey. Percayalah ... aku lebih kuat dari yang kau lihat."

Zeyran mengusap kepalanya lembut. "Kau tahu, kau membuatku harus mengambil keputusan sulit."

***

"Dieu! Kau lagi!"

Gilbert memandangi Zeyran yang berdiri di hadapannya, agak kesal mengetahui pria itu yang membuka pintu untuknya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Wah! Aku tidak yakin kau yang membuka pintu untukku. Dan apa yang kulakukan di sini? Oh, apa yang kau lakukan di sini, Monsieur Zey? Apa kalian berteman atau ...." Gilbert sengaja menggantungkan kalimatnya, ia juga tidak berniat beramah-tamah kepada pria ini.

"Siapa, Zey?" seruan Vanessa itu berhasil menarik perhatian kedua pria tersebut. Gilbert melongokkan kepalanya ke belakang Zeyran, kemudian tanpa dipersilakan, ia masuk begitu saja sampai-sampai menyenggol bahu Zeyran yang masih berdiri di ambang pintu.

"Astaga! Kau betul-betul membuatku cemas. Kau tidak mengangkat teleponku. Kau juga tidak membalas pesanku, kau—"

"Ekhem...."

Dehaman tersebut membuat Gilbert memutar bola mata, mulai muak terhadap bodyguard Vanessa satu itu.

"Aku ingin minta maaf karena sudah membatalkan janji temu denganmu kemarin. Ada urusan mendadak yang tidak bisa kutunda."

Untuk beberapa saat Vanessa bergeming, menatap tak percaya ke arah pria itu. Mereka tidak bertemu tiga hari, tetapi Gilbert terlihat lebih pucat dari kali terakhir mereka berjumpa, meskipun kenyataan tersebut sama sekali tidak menghilangkan ketampanannya. Tetap saja, ada kecemasan dalam hati Vanessa.

"Kau baik-baik saja?" tanya Vanessa seraya menegakkan punggungnya dari kepala sofa.

"Maaf?"

"Kau kelihatan tidak sehat."

Senyum Gilbert perlahan memudar mendengar penuturan gadis itu. Tentu saja ia tidak baik-baik saja, ia kesakitan setiap hari, dan entah sampai kapan rasa sakit itu akan menghilang. Namun, ia tidak mengatakannya kepada Vanessa. Sebagai gantinya, ia mengambil tempat duduk dan menyodorkan buah tangan yang dibawanya.

"Aku membawa beberapa pastry dan sebuket mawar putih untukmu," ucap Gilbert seraya menyimpan pastry di atas meja dan menyodorkan bunga yang masih terlihat segar tersebut kepada Vanessa.

Binar-binar di mata Vanessa langsung terbit. Tampak sangat menggelikan, seperti seekor anak anjing yang baru melihat induknya kembali setelah perjalanan panjang. Ia langsung mengambil bunga itu dan memeluknya.

"Merci. Kau tahu aku suka mawar?"

"Hanya menebak, Jolie Fille."

Pipi Vanessa tampak merona mendengar panggilan tersebut. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa gugup. Vanessa membenarkan posisi duduknya lagi sambil merapikan pakaiannya yang kusut, berusaha mempercantik diri di depan pria itu sampai-sampai melupakan rasa sakit di kepalanya.

"Ah! Melihat kondisimu, seharusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu?" tanya Gilbert.

"Hanya kelelahan."

"Apa aku terlalu sering mengajakmu jalan?"

Zeyran mendengus mendengar pertanyaan itu.

"Bukan," jawab Vanessa cepat.

"Tentu saja. Dia sering memaksakan diri," komentar Zeyran yang membuat Vanessa melotot ke arahnya.

"Apa kau sengaja mampir ke Sargent?" tanya Vanessa berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia menemukan merk Sargent di dalam kantung belanjaan pria itu.

"Oui! Aku sudah mencicipinya sekali dan itu membuatku ketagihan. Pastry kalian—maksudku, pastry-pastry-mu—sangat lezat, Monsieur Diori Sargent." Ia mengalihkan perhatiannya pada Zeyran yang masih mengawasinya curiga. "Suatu kehormatan bisa mengenal Anda."

Zeyran berdecak. Sementara Vanessa merasa tak senang dengan tanggapan temannya itu. "Maaf. Biasanya dia tidak bersikap seperti itu."

Gilbert menatap Vanessa tak yakin. "Benarkah?"

"Jangan membicarakanku seolah-olah aku tidak di sini," gerutu Zeyran.

"Zey, bisakah kau membawa minum untuk Gilbert?" pinta Vanessa penuh permohonan.

Gilbert tidak bisa menutupi seringainya ketika mendengar permintaan Vanessa barusan. Sementara itu, Zeyran menggeram tak terima. "Yang benar saja!"

"Ayolah, kau takkan membiarkan tamu kita—"

"Tamu kita?!" seru Zeyran kesal. "Dia bukan tamuku."

"Baiklah. Aku akan melakukannya sendiri."

"Tidak usah!" ujar Gilbert serta Zeyran berbarengan, membuat gerakan Vanessa beringsut dari sofa terhenti. Ia menatap kedua pria itu bergantian.

"Aku tidak akan lama, kok. Tadinya aku ingin mengajakmu makan malam di luar sebagai permintaan maaf."

"Kau tidak perlu meminta maaf. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya."

"Terima kasih. Tetapi aku akan tetap mengajakmu makan malam bersama nanti." Gilbert beranjak dari sofa. Ia menunduk sedikit untuk memberi kecupan singkat di dahi gadis itu.

Bukan cuma Zeyran yang terpegun melihat sikap lancang Gilbert. Melainkan Vanessa juga, mendapati bibir sensual Gilbert yang hangat mendarat sempurna di keningnya. Ia tak pernah merasakan ini sebelumnya, rasanya seperti ada kembang api yang meletup-letup di perutnya.

"Sampai bertemu lagi, Jolie! Semoga lekas sembuh." Gilbert keluar dari sana, tanpa menunggu reaksi Vanessa selanjutnya.

Sepeninggal pria itu, Zeyran merutuk, menyumpah serapahi Gilbert dengan kata-kata kasar. Ia mendudukkan bokongnya tepat di samping Vanessa, memandangi temannya yang masih tersipu.

"Lihat! Sikap manisnya benar-benar mencurigakan," celetuknya yang berhasil mengacaukan imajinasi Vanessa. "Apa kau tidak curiga padanya?"

"Pada siapa?" tanya Vanessa polos.

Zeyran mendesah pelan. "Siapa lagi kalau bukan pria itu—Gilbert. Persetan, aku bahkan enggan menyebut namanya."

"Kenapa kau begitu tidak menyukainya?" Kedua mata Vanessa menyipit.

"Entahlah. Aku masih belum menemukan alasan yang tepat dia mendekatimu. Karena kemungkinan besar, dia memiliki rencana busuk."

"Menurutmu begitu?"

Zeyran mengangguk.

"Kalau begitu, apa kau memiliki sebuah motif atau rencana tertentu saat pertama kali mengenalku? Kau tahu, kau bahkan banyak membantuku, padahal kau tidak tahu siapa aku saat itu."

DEG!

Untuk beberapa detik lamanya, Zeyran tercenung mendengar ucapan Vanessa barusan. Motif. Rencana. Zeyran meringis dalam hati. Tentu saja ia memilikinya. Namun, Zeyran tidak mengatakannya dan malah membiarkan pertanyaan itu menggantung seperti pertanyaan sebelumnya. Ia selalu memaksa Vanessa mengatakan apa pun padanya, tetapi ia sendiri menyimpan kejujuran di tahapan paling bawah dan sama sekali tidak berniat mengungkapnya.

Ternyata benar kata orang, apa yang kau lakukan kepada orang lain, itulah yang akan kau terima dari mereka. Tidak heran Vanessa ragu menyimpan rahasia padanya, karena ia sendiri memang tak bisa dipercaya.

***

Sebuah ponsel terbanting keras, membuat benda elektronik itu langsung retak dan redup. Tangannya terkepal hingga membuat buku-buku jarinya memucat. Ia tampak sangat murka. Amarah meluap-luap, memperkeruh suasana hati. Salah seorang pelayan yang ditugaskan untuk menjaga istrinya di rumah itu menghubunginya. Mengatakan bahwa istrinya kini sedang berada di rumah sakit dalam keadaan koma.

"Aku harus bertindak cepat!"

SURVIVREUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum