TMRC - Tujuh belas (Tentang Bumi Dan Sentuhan Pertama)

Start from the beginning
                                    

"Bintang bisa bicara sebentar?" ajak Bumi.

"Tidak. Aku sedang tidak mood bicara denganmu."

Bumi menghembuskan napas. "Sampai kapan kau menghindari aku?"

"Aku tidak menghindarimu, Bum. Aku ... aku hanya malu," pekik Gebi tertunduk.

"Kenapa harus malu?"

"Karena kau sudah tau perasaanku."

"Lalu? Lenapa kalau aku sudah tau perasaanmu? Apa aku meledekmu? Menertawaimu? Atau menjauhimu? Apa yang kau takutkan, Bintang? Kau bahkan tidak pernah mengijinkanku bertemu denganmu. Bagaimana bisa kau menyimpulkannya seperti itu?"

Gebi diam. Ketika dia mau beranjak keluar kelas, tanpa aba-aba Bumi menarik tangannya dan membawanya sampai ke lantai paling atas gedung kampus mereka. Gebi sekarang duduk di tangga dan memelintir tasnya sementara Bumi tepat di samping gadis itu. Mengeluarkan sebuah buku berwarna kuning dari dalam ransel. Dia menyerahkannya pada Gebi. Dengan lemas, gadis itu mengambilnya.

"Aku sudah baca semuanya, Bintang. Dan aku sudah mencopy-nya," ujar Bumi, hati-hati.
Mendengar itu, Gebi menutup matanya. Dalam hati dia berdoa agar dilemparkan saja ke Segitiga Bermuda. Putri harus dijambak keras-keras sampai otaknya berceceran di lantai. Kelancangannya membuat seluruh isi hati Gebi yang tercurah—dari yang paling suci sampai paling kotor—dibaca oleh Bumi.

Memikirkan itu, Gebintang mengacak-acak rambutnya secara brutal. Ia dicegat Bumi dalam cengkraman keras di tangan agar dia berhenti berbuat tidak-tidak.

"Rambutmu sudah berantakan. Jangan mengacaknya lagi. Bagaimana kalau kau botak? Kau akan sangat jelek, Bintang. Percaya padaku, orang-orang tidak akan bisa membedakan mana Angkasa Gebintang, dan yang mana Vin Diesel,” ledek bumi mencairkan suasana.

Berhasil! Gebi tertawa kecil walaupun wajahnya masih masam karena malu.
Begitu melihat Gebi mulai relaks, Bumi bertanya, "Sejak kapan, Bintang?"

"Ha?"

"Sejak kapan kau..." Bumi menoleh dan menatap wajah Gebi lekat-lekat. "Menyukaiku?"

"Bukankah kau sudah membacanya sendiri? Kenapa masih menanyakan itu? Apa kau mau membuatku mati karena malu?"

"Aku mau mendengarnya sendiri, Bintang. Lagi pula, untuk apa kau malu? Kita sudah menghabiskan hidup kita sama-sama. Aku bahkan sudah hafal bau kentutmu."

Gebi mengerling jahat kemudian dengan rahang mengeras dia mulai menghadiahi cubitan-cubitan ekstrem di sekujur tubuh Bumi. Laki-laki itu meringis sambil melarikan dirinya dalam tawa.

"Aduh, aduh, berhenti. Kumohon. Bekas cubitanmu beberapa bulan ini saja belum hilang. Kenapa kau terus menyiksaku. Aduh!" Bergantian Bumi mengusap-ngusap perut, lengan, dan pipinya yang kesakitan.

Gebintang tertawa kecil melihat wajah Bumi yang memerah.

Setelah suasana kembali tenang, Bumi berujar dengan sangat hati-hati, "Terima kasih, Bi, untuk semuanya." Diliriknya Gebi sekilas. "Aku... untuk saat ini... belum bisa jawab apa-apa. Karena aku—”

"Tidak apa, Bum. Tidak usah dibahas! Lagi pula, aku tidak minta memintamu menikahiku, kan? Lupakan saja semuanya, Bum. Jangan pikirkan aku," potong Gebi cepat.

Bumi menautkan kedua alisnya. “Bukankah kau bilang kita sepertinya ditakdirkan satu sama lain? Saling melengkapi, saling mengisi, jadi kau Bintang di langitku, dan aku Bumi di dalam duniamu, kan?"

Sial. Wajah Gebi terpanggang. Dia bahkan menutup dua telinganya. Kenapa itu terdengar menjijikan saat dibaca ulang oleh pemilik perasaannya sendiri?

The Marriage Roller CoasterWhere stories live. Discover now