TMRC - Delapan

Mulai dari awal
                                    

Sungguh romantis, pikir Gebi.

"Baik. Itu saja, Tuan. Kami akan berlayar ke pulau seberang dan akan berlabuh 20 Menit lagi. Jika Anda dan istri Anda mau berenang, tangga gantung ada di sudut kiri buritan kapal."

Sekali lagi Kaffi mengangguk. "Terima kasih, Capt."

George tersenyum kemudian meninggalkan Kaffi dan Gebi yang saling bertatapan. Gadis itu  tersenyum memamerkan Gigi kelincinya.

"Apa? Sekarang kau sudah tersenyum?" cibir Kaffi, geli. Ingin rasanya dia menampar muka tolol Gebi yang tersenyum hiperbola.

Gebi berkedip-kedip centil. "Ternyata... kau romantis juga, ya?" godanya sembari memutar-mutar sejumput rambut.

Bola mata Kaffi berotasi satu putaran. "Jangan konyol!" bentaknya.

"Kau menyiapkan ini semua. Menurutku itu romantis.”

"Jangan besar kepala. Siapa yang mau buang-buang uang menyewa tempat seperti ini hanya untuk menghiburmu? Ini semua hadiah dari Justin karena kita tidak bisa ikut kapal pesiar itu. Dia meneleponku dan menawarkan untuk membawamu ke sini."

Gebi terpengarah. "Benarkah? Waaah. Apa Justin sudah punya pacar? Siapa pun yang menjadi pacarnya akan sangat senang. Dia tampan, kaya, punya badan bagus. Berhati lembut, pintar, dan yang paling penting dia romantis. Hi. Hi. Kenapa aku tidak bertemu dengannya sejak dulu? Mungkin saja aku bisa—" Gebi tidak jadi melanjutkan kalimatnya karena tatapan hinaan Kaffi.

"Kaupikir dia mau dengan wanita sepertimu? Tidak cantik! Rata, kasar, rakus. Dan yang paling penting, kau itu BODOH!" hina Kaffi, sambil mendorong alis Gebi.

"Heii. Itu, kan, pendapatmu! Kautahu? Aku sering mendapati temanmu itu melihatku dengan tatapan kagum." Gebi tersenyum malu-malu. Aksinya itu disambut Kaffi dengan ekspresi datar.
"Jangan berlebihan. Aku tidak semenjijikan itu,” protes Gebi, kesal.

Kaffi mengabaikan omelan Gebi dan langsung melompat ke atas ranjang. Pergerakan kasarnya  membuat kelopak-kelopak mawar yang tadinya berbentuk hati berubah wujud. Sebagiannya berserakan di lantai.

"Apa yang kaulakukan, Bodoh!?" Gebintang berteriak histeris. "Kau merusak ranjangnya." Dia kemudian memunguti mawar-mawar yang berjatuhan. "Bisakah kau tidur di lantai saja?"

"Berisik!" Kaffi melempari bantal ke arah Gebi. “Aku mau tidur. Jangan menggangguku!"

Wajah Gebi berubah iba. "Sayang sekali ranjang seindah itu harus dipakai tidur. Mawar-mawarnya. Ah. Harum sekali!" Gebintang menghirup kelopak mawar dalam genggamannya.

Melihat ekspresi Gebi, Kaffi langsung bangun dan menatap istrinya itu dengan tatapan penuh misteri. "Kalau begitu, ayo lakukan hal lain di sini." Pria itu memberikan instruksi pada Gebi dengan gerakan kepala. Tak lupa, menepuk-nepuk ranjang.

Gebintang tertawa sumbang.

"Kenapa kau tertawa?"

"Katamu aku menjijikan. Sekarang kau memintaku untuk hal lain?" Gebintang melipat kedua tangan di dada. "Apa kau tidak malu menjilat ludahmu sendiri?"

"Kenapa? Apa kaulupa kalau kau itu istriku? Sudah seharusnya kau melakukan kewajibanmu untuk melayaniku."

"Ha. Ha. Ha." Tawa Gebi mengudara lagi. "Lihat dirimu, sekarang kau mau...," Gebi mengangkat kedua jarinya membentuk tanda kutip di udara. "Denganku? Really? Ha. Ha. Apa kau tidak malu? Huh? Kemarin saja kau bersikap seolah-olah tidak menginginkan tubuhku. Sekarang apa? kalau aku jadi kau, aku lebih baik menenggelamkan diriku dan dimakan ikan hiu daripada harus menjilat ludahku sendiri."

The Marriage Roller CoasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang