TUJUH BELAS

9.5K 806 157
                                    

kau bisikan kata cinta, setiap waktu, kau ajarkan kasih sayang, hingga detik ini, mungkinkah aku bisa mencintaimu, selamanya, hingga maut menghampiriku dan cinta kita menjadi sejarah.

***

"Tuhan, aku mohon jangan biarkan aku sendiri. Aku ingin sahabatku tetap ada disampingku begitu juga suamiku." Prilly menangis memilukan hingga tubuhnya merosot ke lantai.

Dinginnya lantai tak lagi dia perdulikan. Ali sudah dilarikan ke rumah sakit Singapura. Sedangkan kini Al sedang ditangani Dokter Ira di dalam. Tadi saat Prilly menyuapi Al makan, tiba-tiba Al tersedak dan batuk hingga nafasnya tersengal. Pernafasannya terganggu menjadikan dada Al sesak untuk bernafas.

"Ali ... dengarkan suaraku. Aku di sini menunggumu. Bertahanlah untuk aku. Aku mohon kepada-Mu. Berikan mukjizat-Mu untuk kedua orang yang aku cintai Tuhan. "

Ali mengalami kritis dan detakkan jantungnya melemah. Maut telah menghampirinya, apakah Engkau tega Tuhan mengambil orang-orang yang dikasihi Prilly?

Detakan jantung Ali semakin menurun hingga tim medis yang menanganinya melarikan Ali ke Singapura segera.

Coba rasakan, jika kalian di posisi Prilly saat ini?
Kedua kekuatan hidupnya melawan maut, sedangkan dia bisa apa?
Hanya doa dan harapan yang dapat ia adukan kepada Sang penguasa alam ini.

Ira keluar dari ruangan Al, membuat Prilly langsung berdiri menghadangnya.

"Bagaimana keadaan Al?" tanya Prilly masih sesenggukan dengan wajah basah air mata. Prilly menggenggam tangan Ira erat.

"Al baik-baik saja, masuklah ke dalam. Al menunggumu." Ira mengelus lengan Prilly sambil tersenyum sangat manis.

Mendengar perkataan Ira tadi, Prilly segera masuk ke dalam melihat Al tersenyum dengan wajahnya yang pucat pasih. Prilly berjalan perlahan dengan air mata yang lolos tak tertahankan.

"Kenapa menangis?" tanya Al sangat lembut dan lemah.

Prilly menjatuhkan tubuhnya di kursi samping brankar Al. Matanya tak lepas memandang suaminya yang masih tersenyum manis. Al mengulurkan tangannya menghapus air mata Prilly.

"Sini, temani aku tidur." Al sedikit menggeser tubuhnya. Prilly menuruti permintaan Al, dia berbaring di sebelah Al.

"Kamu jangan menangis." Al berucap sambil memeluk Prilly.

"Jangan buat aku ketakutan lagi. Kamu tahu, separuh detak jantungku adalah milikmu. Jika jantungmu sakit, aku juga merasakan hal yang sama sepertimu." Prilly mengeratkan pelukannya pada tubuh Al, dengan tangisan yang lolos hingga sesenggukan.

"Karena separuh jantungmu ada di diriku, maka kamu adalah separuh nafasku. Seluruh nafasku hanya untukmu. Kamu adalah tulang rusukku, Sayang." Al mencium pucuk kepala Prilly lama menyalurkan cintanya yang luar biasa dan besar untuk istrinya itu.

"Sayang, jika ini memang akhir dari takdirku, lakukan suatu hal untuk aku. Hiduplah untuk aku, bahagialah untuk aku, dan kenanglah semua yang pernah ada diantara kita untuk aku." Prilly mendongak menatap Al dengan air mata yang membasahi wajah cantiknya. Al tersenyum tulus ketika melihat istrinya yang terkejut dengan kata-katanya tadi.

"Nggak ... nggak ... kamu nggak boleh bicara seperti itu. Kamu yang akan membuat aku bahagia. Kamu di sini dan itu semua lebih dari cukup buat aku, apa aku bisa berharap lebih dari itu?" Prilly semakin terisak dalam pelukan Al. Rasa takut akan suatu hal yang tak ia inginkan menyelusup hingga ke dasar hatinya.

TAKDIR (Komplet)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang