Bab 7. Ku

6.1K 460 26
                                    


Araya pov

   "Aku menyukaimu Luna."

     Dia hanya mengulum senyumnya dengan wajahnya yang mendekat padaku dan bibir yang manis itu tepat menempel dipipi kananku.

   "Aku akan menahan diriku untuk saat ini. Kita tidak bisa melanjutkannya disini kan?"

  "Hah?"

    Bianglala ini bergerak kembali, dia hanya mengangguk kecil lalu menatap ke jendela dengan tangan yang menopang dagunya. Dia tadi bicarakan apa ya? Itu bukan jawaban atas perasaanku. Berpikirlah Araya Randini atas ucapannya, tidak bisa bersikap bodoh terus menerus.

   Bianglala ini berhenti lalu pintunya dibuka oleh seorang pria yang sekisaran dua puluh, seukuran kak Luna atau mungkin lebih tua. Kak Luna sudah berjalan duluan melewatiku.

  "Makasih."

   Dia hanya mengangguk lalu mendekat selangkah padaku, dia sedikit membungkukkan badannya sebelum senyuman jahil terhias disudut bibirnya.

  "Bagaimana, apa berhasil?"

  "Apanya yang berhasil?"

  "Pernyataannya."

   Darimana dia tau aku tadi sedang menyatakan perasaanku yang mungkin tak terbalas sama kak Luna, bukan tak terbalas lagi tapi sudah ditolak. Tunggu dulu apa dia tidak menganggapku aneh yang mempunyai perasaan pada kak Luna?

  "Tidak usah malu, selamat ya."

   Dia menepuk-nepuk punggungku dengan alisnya yang terangkat dan masih dengan senyuman jahilnya.

  "Selamat ap..."

  Belum selesai aku bertanya sepasang tangan melingkar di lenganku, aku mendongak melihat kak Luna yang menatap datar pada pria disampingku.

   "Hai."

    Kak Luna tidak mempedulikan sapaan pria ini, dia hanya menatap kesal padaku. Dari ekspresinya yang seperti itu pasti aku melakukan kesalahan.

   "Ini sudah malam, harus berapa lama kamu mau berdiri disini?"

   Belum aku menjawab pertanyaannya dia sudah menarikku, aku hanya bisa mengucapkan maaf pada pria itu tanpa mengeluarkan suara.

  Sampai didepan mobil dia membukakan pintu untukku lalu memutar dan masuk pintu satunya, dia menenggelamkan wajahnya dibalik stir. Menghela napas berat lalu kembali menatapku.

  "Kamu tadi bicara apa sama dia?"

  "Maksud kamu pria tadi?"

  "Apa aku harus menyebutkannya?"

  "Tidak, dia cuma mengatakan..."

  "Haha aku tidak perlu mendengarnya pasang seatbeltmu."

   Dia kenapa, kok jadi aneh gini. Tak memberiku sedikit kesempatan untuk menjelaskan sesuatu.

   Selama perjalanan aku hanya menatapnya yang tidak tersenyum sedikitpun. Apa dia tidak ingin mengucapkan sesuatu untuk menghilangkan rasa penasaranku akan sikapnya.

   "Aya."

   Akhirnya dia bersuara juga.

  "Iya?"

  "Kamu sudah kelas berapa?"

  "Kelas dua sma yang sebentar lagi kelas tiga. Kenapa tanya itu bukannya kamu sudah tau?"

  "Kelas dua itu berarti 17 kan?"

   Aku hanya mengangguk kemudian kembali menatap bingung padanya.

Key And YouWhere stories live. Discover now