Bab. 9 Dengan

6.1K 458 31
                                    


Araya pov

  Kurentangkan kedua tangan, dia mengangkat alisnya merasa heran dengan sikapku yang tiba-tiba melarangnya memasuki kamar. Bagaimana mungkin aku menyuruhnya masuk, kamarku berantakan. Bukan berantakan aku hanya tidak mau kalau dia tau aku mempunyai fotonya yang kutaruh diatas meja belajar.

  "Jangan masuk dulu."

  "Kenapa? bukankah tadi kamu menyuruhku?"

  Itu karena aku melupakan soal foto itu.

  "Aku belum membersihkan kamarku."

  "Aku akan membantumu."

    Sejak kapan dia mau melakukan hal ini? Bukankah selama ini yang membersihkan kamarnya bi Ranta, mana mungkin dia bisa membantuku. Dia aneh.

  "Aya kita sedang berbicara kenapa kamu malah diam?"

  "Eh, tidak usah membantuku, kamu duduk dulu di sofa biarkan aku yang membersihkan kamar sendiri."

  Dia menarik sudut bibirnya membentuk seutas senyum, kedua tangannya menahan pintu sehingga aku berada di kedua tangannya, ia mendekatkan wajahnya.  Jantungku semakin berdetak keras saat herpaan napasnya menyelusup ke telingaku.

  "Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh aku tau?"

  "Aku tidak menyembunyikan apapun."

  "Lantas kenapa kamu begitu takut aku memasuki kamarmu?"

  Haruskah dia bertanya sedekat ini dengan suaranya yang membuatku merinding, kenapa suaranya begitu sangat rendah tidak seperti biasanya. Dan bagaimana caranya aku melarikan diri dari situasi ini, aku tidak bisa mendorongnya, bagaimana kalau aku sampai menyentuh tubuhnya yang tidak boleh kusentuh. Aarrrrgggghhh ini membuatku gila seharusnya aku tidak mengiyakan saat dia ingin menginap.

  "Kenapa diam? Apa aku benar?"

  "Luna apakah kita harus berbicara sedekat ini?"

  "Tentu saja sehingga kamu tidak akan merasa salah pendengaran lagi."

   Pikirkan sesuatu yang dapat membuatmu terbebas, pasti ada caranya. Aku tersentak saat ia meraih pinggangku. Kenapa dia membuat jaraknya semakin tipis dan ini semakin gawat aku bisa merasakan sesuatu yang lembut. Lembut?

  Belum selesai aku merespon semuanya, kudengar suara pintu terbuka. Ah, dia membuka kamarku. Sudahlah aku hanya bisa menyerah soal ini, aku takkan pernah menang darinya.

  Dia meregangkan pelukannya, di sudut bibirnya tercetak senyum kemenangan. Licik, kenapa dia harus mengodaku. Membuat otakku susah berpikir.

  "Kamu curang."

  Dia melepaskan pelukannya lalu mengusap rambutku kemudian melangkahkan kakinya memasuki area yang seharusnya tidak boleh ia masuki. Dia meletakkan tasnya dan belanjaannya di atas kasurku lalu menatap keliling kamarku, dia tersenyum tipis saat matanya menangkap sesuatu. Entahlah apa yang dia lihat, di mendekat pada meja belajar sedangkan aku hanya duduk di tepi ranjang, menghela napas lelah. Lelah akan jantungku yang terus terpompa saat dia disekitarku.

  "Jadi kamu menyimpan fotoku, kamu manis."

  "Maaf karena telah menyimpan fotomu."

  "Tidak apa aku malah suka."

   Dia mendekat padaku tanpa sadar tubuhku langsung tegak berdiri. Dia mengernyit, tubuhku pasti sudah merespon kalau akan ada hal yang gawat jika aku masih terus di kamar.

  "Kamu mandilah dulu dan aku akan menyiapkan makan malamnya."

  Kututup pintu kamar lalu berjalan ke arah dapur. Apa yang harus ku masak ya? Kubuka pintu kulkas dan hanya beberapa mie instan dan telur. Apa kak Luna mau makan mie, ah tidak! Dia tidak suka memakan sesuatu yang instan. Aku tanya saja deh apa dia mau makan di luar.

Key And YouWhere stories live. Discover now