[11] Tama

4.7K 536 8
                                    


Kalau saja ia seorang penulis lagu, dan kalau ia dapat bermain gitar ... mungkin ia sudah dapat membuat satu lagu disaat hatinya yang sedang kacau, seperti saat ini.

Entah sudah beberapa hari ini, Thaya seolah-olah menghindar darinya. Bukan seperti Thaya sekali.

Di balik benteng sekolahnya yang besar, nyatanya benteng persahabatannya dengan keenam temannya semakin memperkuat benteng persenyembunyiannya.

Kekesalan Tama tentu sangat beralasan. Dan mungkin, ini karena ulahnya pertama kalinya.

Pertama, Thaya yang tidak memikirkan ke depan soal menulis naskahnya itu. Karena, dengan Thaya menuliskan ceritanya dengan Tama, sama saja ia mencurahkan kenyataan hidupnya yang pahit.

Kedua, Hubungan keduanya yang tiba-tiba menjadi sangat renggang. Bahkan, sejak Thaya memutuskan hubungan telfon, perempuan itu tidak lagi bicara dengan Tama.

Padahal, Tama sangat ingin bertemu dan marah-marah kepada Thaya. Tama rindu akan hal itu.

Ketiga, perceraian kedua orang tuanya yang akan berlangsung pada hari selasa besok. Seharusnya, besok akan menjadi hari yang harus dilingkari Tama pada kalendernya, sebagai hari kebebasannya.

Keempat, Hari kebebasan yang akan menyatakan kalau Thaya, bukan lagi dalam posisi sebagai adik tirinya, namun Thaya hanya akan dalam posisi pacarnya. Tetapi ... semuanya terjadi di luar perkiraan.

Kelima, Karena satu hal yang Tama takuti sejak awal ia bertemu dengan Thaya ... ia tidak pernah memikirkan bagaimana akhir hubungan keduanya?

Kalau saja besok, Thaya akan resmi tidak lagi menjadi adik tirinya, lalu apa hubungannya? Pacar? Namun, bagaimana jika ada fakta lain yang membuatnya semakin sulit?

Jujur saja, hal tersebut tidak pernah terlintas saat pertama kalinya Dian–Ibu Tama, mengajak Tama menghadiri jamuan makan malam yang akan dihadiri oleh keluar ayah tirinya. Dan saat itu pula, kali pertamanya Tama bertemu dengan Thaya.

Perawakan Thaya yang terlihat santai dan begitu jujur saat bicara, membuat Tama tidak dapat menahan senyumnya bila bicara dengan Thaya. Bahkan ... sampai sekarang.

Mereka tidak hanya bertemu saat jamuan makan malam, Tama tentunya menjadi sering mengajak Thaya jalan. Niat awalnya adalah; mengenal Thaya lebih dalam. Alih-alih, perempuan itu akan menjadi adik tirinya suatu hari nanti.

Sampai akhirnya, pernikahan tetap berjalan sebagaimana semuanya direncanakan. Tetapi, satu yang Tama ingat. Ucapan Thaya pada waktu itu.

"Apa gue bilang ke Papa? Terus lagian Audi juga tau kan! Tapi, gue takut Mama malah berubah jadi Ibu tiri Cinderella, dan gue nggak mau hidup gue sedramatis itu, seakan-akan gue nunggu pangeran berkuda putih dateng ke gue. Padahal lo udah ada di depan mata." Begitu kata Thaya sembari menjambak pelan rambutnya saat itu.

Namun ... justru hubungan yang terjalin diantara keduanya, bukan hal yang wajar dalam sebuah keluarga. Walaupun, mereka bukan keluarga kandung.

Tama berani sumpah, ia tidak pernah menyumpahi agar kedua orang tuanya tersebut bercerai, dan lantas ia dapat dengan Thaya. Bukan itu. Walaupun dulu, Tama pernah bermohon seperti itu.

Namun ... perceraian yang ada, sehingga membuat kesempatan baru di depan mata, justru berbanding jauh dengan kondisi hubungan keduanya.

Mungkin, semuanya sudah tersusun rapi pada secarik deretan takdir manusia. Karena yang dilakukan Tama saat ini, memandangi tiga buah tiket yang baru saja ia beli tadi siang.

Satu hal yang Tama inginkan saat ini, mengobrol dengan Thaya. Tanpa berpikir panjang, Tama menekan tombol hijau setelah menekan nomor telpon milik Thaya.

"Tam?" Nafasnya bisa tercekat dalam satu detik saja.

Untuk kesekian kalinya, Tama tidak mau tahu bagaimana akhir ceritanya dengan Thaya.

#

a.n

Wah.. akhirnya saya update lagi!

Anyway, gue baru aja ganti category cerita ini dari Teen Fiction jadi Short Story.

Soalnya setiap chapter pendek... dan mungkin lebih pas ya. hehehe

Thank you yang udah mau baca!

Jangan lupa vomment nya :)

Brought It To An EndWhere stories live. Discover now