[ End ]

6.5K 591 70
                                    


Tiga tahun berlalu. Ah, ingin rasanya Thaya meringuk dalam kamarnya seharian hanya karena mengingat hari itu. Namun ia tidak bisa melakukannya untuk hari ini.

Dari jarak yang beribu-ribu mil, jauh disana. Thaya justru dapat melihat Tama dengan jarak satu meter saja.

Thaya menopang dagunya dengan tangannya yang bertumpu pada meja belajarnya seraya matanya menatap lekat seorang laki-laki yang kini sudah berumur dua puluh satu tahun dengan sebuah gitar di tangannya.

"Ya." Sahut Tama yang suaranya terdengar seperti rekaman. Lelaki itu menatap intens lawan bicaranya pada video call nya kali ini.

Hening sesaat, sampai akhirnya Tama kembali bersuara setelah menghembuskan nafasnya yang terdengar berat. "Lima tahun. Bukan waktu yang cepet gue rasa."

Thaya mendengus mendengar ucapan Tama. "Waktu yang lama buat lo akhirnya bisa main gitar? Walaupun, gue lebih suka lo dengan stik drum lo. But it's okay."

Tama tersenyum miring. "Kalau ngeledek suka nggak ngeliat tanggal." Jeda. "Lagi anniversary lima tahun, malah dicela."

Ucapan Tama rasanya melambung jauh masuk ke dalam kegelisahan yang entah sudah berapa lama Thaya ingin kubur dalam-dalam.

Mungkin Tama yang saat ini ia lihat, sedikit berbeda dengan Tama yang kemarin, dua hari yang lalu, seminggu yang lalu, atau sebulan yang lalu.

Yang saat ini ada pada layar laptop milik Thaya, adalah seperti sosok Tama saat ia masih berada di Indonesia. Masih seperti Tama yang dengan sekali ia teriaki namanya, maka ia akan muncul di ambang pintu.

Tapi, siapa yang menyangka kalau bukan Tama ini lah yang Thaya temui di lain hari.

Yang Thaya temui adalah, Tama yang sibuk dengan kuliahnya, lalu dengan segala organisasi kampusnya. Atau sibuk dengan perempuan berambut pirang yang hampir sebelas dua belas dengan boneka kesayangannya sewaktu kecil.

Mungkin dapat dihitung dengan jari, berapa kali keduanya meluangkan waktu hanya untuk menanyakan kabar tiap minggunya.

Thaya tidak bisa menyalahkan Tama. Karena, sama halnya dengan lelaki itu, dunianya juga mulai berubah semenjak masuk ke dalam dunia perkuliahan itu.

Dan karena itu lah, hari dimana tanggal empat belas pada bulan Juni tiap tahunnya, merupakan hal yang paling Thaya tunggu-tunggu.

Hari dimana, Tama akan selalu meluangkan waktunya yang lebih dari lima menit untuk Thaya.

Begitu pun sebaliknya.

"Ya? Kalau gue mainin gitarnya... lo mau denger nggak?" Tanya Tama yang sontak membuyarkan lamunan Thaya. Terlihat dari raut dan tatapan perempuan itu yang sedari tadi memberikan kesan kosong, disaat seharusnya ada binar bahagia disana.

Thaya tersenyum tipis dan mengangguk. Tidak lama kemudian, petikan senar yang sudah terdengar merdu pun terdengar. Thaya berani bertaruh, pertama kali Tama mengiriminya video ia memainkan gitar pada pertama kalinya... jauh lebih buruk dibanding suara Audi bernyanyi saat sedang di kamar mandi.

Selang beberapa menit, petikan pun berhenti. Thaya sempat terkejut karena, semuanya terasa sebentar. Atau ia sama sekali tidak menikmati apa pun?

"Gimana? bagus?" Tanya Tama sembari menaikkan sebelah alisnya. Namun, yang Thaya rasakan ada sesuatu yang aneh dari pertanyaannya.

"Lumayan, lumayan." Jawab Thaya sembari manggut-manggut tidak jelas.

Jauh disana, di balik layar laptopnya dengan gitar di atas pahanya, Tama tertawa miris. "Gimana lo mau bilang lumayan? Orang, dari tadi gue ganti lagu sampe tiga kali karena lupa chord-nya apa."

Brought It To An EndWhere stories live. Discover now