[12]

4.4K 550 42
                                    


"Thaya," sahut Tama dengan satu hembusan nafasnya. "Kapan sih, lo stop bikin gue marah?"

Di kamarnya, Thaya tersenyum. Setelah beberapa detik ia berunding antara hati dan pikirannya ... ia memutuskan untuk mengangkat telfon Tama kali ini. Toh, keduanya akan bertemu besok. "Tamiun, galak ah." Gurau Thaya.

"Lagi nggak bercanda." Tukas Tama serius.

"Pernah dikasih tau aturan bertelfon nggak sih? Harusnya tuh, ucapkan salam, abis itu bilang darimana, dan mau bicara dengan siap–"

"Gue kangen banget sama lo, Ya." Potong Tama langsung.

Thaya seketika merasakan lidahnya kelu begitu saja. Ucapan Tama, sangat menyentuh hatinya. Bagaimana tidak? harusnya, ini di abadikan! Tama tidak pernah berbicara semanis ini kepadanya.

"Ah, harus gue kabur berkali-kali dulu sih, baru deh ngomongnya manis banget. Diabetes gue," Balas Thaya lalu, tertawa.

"Lo mikir nggak sih sebelum pindah?" Suara Tama lagi-lagi terdengar seperti orang marah. Thaya yakin, Tama nampaknya sudah mempersiapkan apa saja yang ia harus marahi kepada dirinya saat ini.

"'Kan dadakan... kenapa sih emangnya?" tanya Thaya dengan santainya, seolah itu bukan permasalahan besar.

Tama pun langsung menjawab, "Makanan Yama yang gue beliin kenapa ditinggal! Mahal lagi," Tuturnya kesal.

Kontan, Tawa Thaya pun berderai. Ia sangat ingin bertemu dengan Tama dan menampar pipi laki-laki itu gemas. "Mikirinnya Yama doang nih. Nyebelin."

"Emang," Tukas Tama. "Lo aja nggak mikirin gue pas pergi." Lanjutnya.

Setelahnya, Thaya kembali diam. Ucapan Tama, terkadang terlalu jujur dan sesuai dengan fakta. Namun, Kalau Tama boleh tau ... Thaya sangat memikirkan lelaki itu. Sampai saat ini.

"Ayang."

Seketika, kedua bola mata Thaya membesar. "Idih. Anak siapa sih, jam tiga pagi nelfon dan ngomong kayak orang mabok. Mood swing banget?!"

Terdengar tawa Tama di ujung sana. "Bilang aja aslinya seneng."

"Sotoy."

"Ayam."

Thaya teringat sesuatu. "Kita udah janjian makan soto ayam loh!" serunya. 

"Besok lah, Aya. Sekarang udah malem." Balas Tama.

"Siapa juga yang ngajak sekarang?"

"Bisa aja sih. Tapi sayangnya ..., alamat rumah lo sekarang dimana?" tanya Tama.

"Kenapa? mau ngirim endorse?" Gurau Thaya.

"Endorse kangen."

"Kebanyakan main sama Reno nih. Keluar band sana." Kesal Thaya, sembari mendengus geli.

"Eh tapi serius deh." Sergah Tama.

"Serius apa?" Tanya Thaya.

"Pengen keluar band, rencananya." Jawab Tama sembari menghela nafasnya panjang, lalu beralih berbaring di atas tempat tidurnya.

Thaya mengganti posisi ponselnya. Ia beralih mendekatkan ponselnya ke telinga kirinya. "Suka ngawur deh, Tam."

"Udah nggak berselera mukul-mukul drum." Jawab Tama berbohong.

"Emang paling seru tuh, karaoke di mobil sama gue kan?" Tanya Thaya, senyumnya pun mengembang seraya ingatannya mengingat kalau ia sering kali, bernyanyi-nyanyi dengan Tama di dalam mobil.

"Ayok, kita due–" Lanjut Tama, yang terpotong dengan suara menguapnya.

"Dasar nggak niat! Nguap kan, tuh." Tukas Thaya, yang beralih menutup layar laptopnya. Ia tidak ingin memikirkan ending ceritanya dengan Tama. Ia hanya ingin, berbicara dengan Tama untuk malam ini–um, pagi ini.

"Abis, sekalinya diangkat telfonnya ... jam segini. Di jam-jam orang nggak produktif." Jawab Tama.

"Bahasa lo terlalu berat ah, Tam." Thaya melepas ikatan rambutnya lalu, berbaring di atas tempat tidurnya.

"Lagi apa, Ya? Biasanya, lo udah tidur kalau di rumah."

Thaya tersenyum seraya mengingat Tama sangat tahu kegiatannya di rumah. "Abis ...," Thaya berhenti. Ia tidak ingin merusak momennya dengan Tama, hanya karena ia menyinggung soal naskah.

"Naskah ya?" Suara Tama terdengar berat sekarang. Mungkin, ia mulai mengantuk.

"Yah ..., baru mau ngeles. Udah keduluan," rutuk Thaya.

"Payah sih."

"Pala lo." Balas Thaya.

"Tidur, Ya. Udah malem." Balas Tama.

"Bilang aja, lo yang udah ngantuk duluan," Jawab Thaya sangat yakin. "Dan, jangan coba ngeles ya." Lanjutnya cepat.

"Jujur, iya. Tapi, ngelesnya berkualitas kok. Mau tau?"

"Nggak."

"Mau lah." Ujarnya lagi.

"Pemaksaan." Balas Thaya sembari menahan tawanya.

"Gue takut aja," Jedanya. "Besok lo ngehindar lagi. Dan lupa, sekarang baru aja dibuat terbang ke langit ke-delapan sama gue."

"Duh Tam, gue suka aja lo jadi manis gini," Thaya menghembuskan nafasnya dalam. "Tapi, gue nggak terbang juga sih."

"Terserah. Tidur ya," Ucap Tama. "Asli, gue ngantuk."

"Payah."

"Lo."

"Berisik." Tukas Thaya.

Sebelum suara Tama berganti dengan dengkuran pelannya, "Sampai ketemu Selasa, Ya." Ucapnya.

"Soto ayam ya, Tam?" Pinta Thaya.

"Tidur dulu aja, kenapa?"

Thaya terkekeh sesaat lalu, mulai memejamkan matanya.

"Dah." Salam Tama.

"I–ya." Jawab Thaya, lalu suara telfon terputuskan pun terdengar. Thaya pun memejamkan matanya perlahan.

Padahal di sisi lain, Tama tidak terpejam. Ia justru terjaga semalaman dengan secangkir kopinya.

Bagaimana ia mengatakannya kepada Thaya?

#

a.n
Hai! akhirnya saya update lage hua hua

Jadi, sebelumnya maafkan kalau masih banyak kekurangan pada cerita ini ya!

Dan, terima kasih yang mau baca sampai sekarang dan vomment! Terima kasiih!




#TamiunKembali

Brought It To An EndWhere stories live. Discover now