[18]

4.7K 574 59
                                    


"Udah, lo cepet ke sekolah. Kita bantuin manjet deh, Ya."

"Dijamin kenakalan lo hari ini, termaafkan oleh kepala sekolah."

"Sekolah, atau bandara?!"

Thaya mendengus sebal seraya mengingat ucapan teman-temannya sekitar setengah jam yang lalu.

Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk mandi dan memakai seragam sekolahnya. Mungkin, ia akan lupa dengan ... dengan, entah lah Tama dan semuanya. Walaupun sementara.

Ayahnya sudah pergi hampir satu jam yang lalu untuk datang ke bandara. Alhasil, Thaya akan berangkat sendiri hari ini.

Tangannya beralih membuka pintu. Ia menatap jam tangannya. Sudah pukul sebelas siang. Apa rasanya sekolah hanya empat jam?

Entah lah. jawabnya, dalam hati. Thaya beralih mengunci pintu rumahnya. Setelahnya, ia pun melangkah menuju pagar rumahnya.

Namun sayangnya ... hal yang ia hindari, justru ia temukan saat ini.

Ia memakai pakaian kasual seperti biasanya. Dengan jaketnya yang ada pada genggaman tangannya. Bahunya naik turun, seolah-olah ia baru saja lari bermil-mil. Hembusan angin kecil, membuat rambutnya berterbangan sedikit.

Dia, Tama.

Orang yang seharusnya tengah duduk menunggu untuk masuk pesawat, malah ada dihadapannya saat ini.

"Tam–"

"Sekolah apaan jam segini?" Potongnya langsung dan menggerakkan matanya ke arah Thaya dari atas sampai bawah.

Thaya tidak tahu harus bersikap apa. Apa ia harus bertingkah seolah semuanya bercanda, dan biasa saja? atau ... sebaliknya?

"Nggak liat ada notif baru ya?" Tanya Tama lagi.

"Emang ada?" Yang ditanya malah balik bertanya. Tepatnya, ia berbohong.

Tama berdecak dalam hati. Ia tahu, pasti Thaya berbohong. Karena, perempuan itu menggenggam ponselnya pada tangannya. Tapi, Tama menyingkirkan hal itu untuk saat ini.

Ia tersenyum tipis ke arah Thaya. "Mau gue anter ke sekolah?"

"Lo kan nggak bawa mobil atau motor. Mau naik apa?" Thaya menautkan alisnya.

"Nggak usah sekolah kalau gitu." Jawabnya ringan. "Kita makan." Lanjutnya sembari menarik tangan Thaya untuk mulai berjalan.

Kalau saja Tama tidak mengenggam tangannya, dan menuntunnya jalan, mungkin Thaya sudah terlihat membeku sendiri. Karena, sejujurnya itulah yang dirasakan Thaya.

Tama bahkan, tidak tahu kemana ia akan membawa Thaya. Makan? Ini  kedua kalinya ia mengunjungi rumah Thaya, dan ia tidak tahu apakah ada tempat makan di sekitar rumah Thaya.

Setelah beberapa saat ia mengontrol dirinya, Thaya menghembuskan nafasnya pelan dan membalas genggaman tangan Tama. Ia menyenderkan kepalanya pada lengan Tama.

"Jangan ketiduran ya." Ujar Tama.

Thaya tertawa hambar, namun sebisa mungkin ia sembunyikan. "Ya nggak mungkin lah." Jawabnya.

Keduanya kembali hening. Kakinya sama-sama melangkah, tapi entah kemana. Mungkin, untuk saat ini keduanya memiliki tujuan yang sama.

"Tam," Thaya memecahkan keheningan.

Tama melirik Thaya dari ekor matanya, tanpa menjawab.

"Naskah gue ... udah selesai lho." Jawabnya sembari menarik kepalanya dan kembali tegak.

Brought It To An EndWhere stories live. Discover now