five

670 95 17
                                    

Esok paginya, Zayn berusaha untuk tidak melihat wajah Liam seharian. Kalaupun sahabatnya itu berbicara dengannya, Zayn sama sekali tidak akan mau menatap wajahnya.

Liam menelan ludah. Dia tahu Zayn mungkin masih marah padanya. Tapi bukannya dia sudah minta maaf kemarin?

Kedua anak itu berjalan menuju kelas mereka dengan hening. Tanpa canda tawa, tanpa celotehan dari Liam atau tawaan kecil dari Zayn.

Tepat setelah Liam dan Zayn menaruh tas mereka di bangku, bel berbunyi dan guru mereka masuk.

Zayn mengehela nafas. Untuk beberapa jam kedepan, dia harus duduk di samping Liam dan melihat cowok itu memperhatikan Claire terus-terusan.

Pathetic.

"Kids, I think I should arrange your seats. Kalian terlalu ribut."

Perkataan guru mereka membuat Zayn menelan ludahnya gugup. Dia tidak pernah duduk dengan orang selain Liam, dan tidak akan pernah.

Tapi keputusan Mrs. Finn tidak bisa diganggu gugat, meskipun Zayn mau menangis saat itu juga ketika wanita itu memindahkannya untuk duduk di sebelah Sandy.

Sandy Beales bukan anak yang bandel, bukan juga anak yang benar-benar pendiam seperti Zayn saat anak itu sedang tidak bersama Liam. Biasa saja; merupakan kata yang cocok untuk Sandy.

"Zayn, kau baik-baik saja kan? Kau tahu, kalau kau mau duduk dengan Liam lagi, aku—"

"Nah, Sandy. I'm okay."

Jawaban Zayn membuat Sandy mengangguk-angguk. Kedua anak itu memang tidak pernah dekat, sampai saat ini.

Pelajaran terasa begitu lambat bagi Zayn. Dia menengok ke sampingnya, berharap dapat menemukan Liam disana. Tapi yang berada disana bukan Liam, melainkan Sandy yang tengah mencatat catatan dari papan tulis.

Zayn menghela nafas. Dia merindukan keberadaan Liam disebelahnya, merindukan wangi khas Liam, merindukan saat Liam menyenggol siku Zayn dengan pelan untuk meminjam alat tulis, merindukan cara Liam mengajarkannya ketika dia tidak paham matematika.

Zayn merindukan Liam yang dulu.

"Zayn?" Bisikkan seseorang membuat badan Zayn sedikit tegang karena kaget. Dengan cepat cowok itu menengok ke sumber suara.

"L-liam?"

"Kau baik-baik saja kan?"

Zayn menelan ludah.

'I really am not okay, Liam. I miss you. I miss us.'

Ingin rasanya Zayn berteriak begitu di depan Liam, tapi rasanya tidak mampu.

"Yeah. I'm okay."

Liam sepenuhnya tahu Zayn tidak baik-baik saja dari kemarin. Tapi anak itu berusaha mengacuhkannya.

Dia mempercayai Zayn.

***
Liam :-) gapeka :-) kayak :-) yang :-) disana :-)

crush || ziam auWhere stories live. Discover now