Bonus Chapter: Eternal Sunshine

11.9K 941 62
                                    

"He stepped down, trying not to look long at her, as if she were the sun, yet he saw her, like the sun, even without looking." - Leo Tolstoy, Anna Karenina

***

Hari Jumat pukul 11.45 ketika dunianya berputar dari porosnya.

Semua dimulai dengan awal kata - "Amelie, ini Anna. Sesuatu terjadi pada Nathan.. Mobilnya.." - kemudian Amelie tidak mendengar kata-kata berikutnya. Karena pada saat itu yang ia rasakan hanyalah perasaan seperti tendangan di ulu hatinya, merampas oksigennya dan meninggalkannya sendirian hingga ia merasa kosong.

Entah kapan Amelie kembali tersadar, ia segera memungut ponselnya yang tergeletak di lantai dan membaca pesan yang Savannah, kakak Nathaniel kirimkan kepadanya. Tidak lama kemudian ia sudah berada diatas taksi berwarna kuning khas New York menuju rumah sakit tempat Nathan di rawat.

Langkah kaki Amelie berjalan cepat hingga ia berhenti di depan pintu bertuliskan angka 501. Dengan gelisah Amelie menggenggam erat tas tangannya dan menggeser pintu kamar Nathan.

Gerakan orang-orang yang menyingkir dari hadapannya memperlihatkan Amelie keadaan Nathan pada saat itu. Bohong kalau orang-orang mengatakan pria itu akan baik-baik saja. Nathaniel Wright yang berada di hadapannya kini berbeda jauh dengan pria yang ia temui beberapa hari lalu di galeri seninya. Nathan terlihat pucat, nyaris transparan dengan beberapa sudut lebam membiru, tangannya di balut perban dan gips, alat bantu pernafasan di letakkan diwajahnya. Elektrokardiogram sedari tadi berbunyi stabil, setidaknya untuk membuktikan kalau pria itu masih bernafas, masih hidup.

"Sudah berapa lama?" Suara Amelie terdengar bergetar ketika menanyakannya.

"Dua jam." Savannah menjawab pertanyaan Amelie dengan suara yang setidaknya lebih stabil.

"Apa yang terjadi?"

"Seseorang menabrak mobil Nathan ketika dia hendak berangkat ke kantor. Seorang saksi memanggil 911, Nathan terjepit diantara setir dan bangkunya. Kurasa airbag di mobilnya juga tidak berfungsi baik, karena polisi bilang kalau airbagnya tidak terbuka ketika mobil Nathan menghantam pinggir jalan. Tulang tangannya patah, mungkin juga ada beberapa benturan di kepalanya, itu yang dokter katakan kepadaku." Suara Savannah semakin lama terdengar semakin bergetar ketika memberikan keterangannya kepada Amelie. Amelie terhenyak dalam diam, dulu dia pernah merasakan hal yang pada orang tuanya. Tidak ada orang yang ingin merasakan hal yang sama semengerikan itu dua kali. Amelie bahkan tidak bisa membayangkan tubuh Nathan yang terjepit diantara lempengan besi mobilnya. Dia tidak bisa membayangkannya. Tidak lagi. "Ada yang tidak bisa kami lakukan, Amy." ucap Savannah lagi.

"Apa yang tidak bisa kalian lakukan?" Amelie mengalihkan pandangan matanya dari badan Nathan yang terbujur kaku diatas kasur rumah sakit ke Savannah yang susah payah menahan tangisannya.

"Kami memerlukan izinmu."

"Izinku?"

"Secara hukum kau masih menjadi istri Nathan, Amelie." Isabella Wright yang biasanya begitu anggun, begitu elegan dan nyaris tidak pernah kehilangan kendali dirinya kini terlihat berbeda. "Tolong selamatkan anakku." Isabella memohon dengan isak tangisnya.

"Apa yang harus ku lakukan?"

"Dokter bilang kalau ada operasi yang harus dilakukan, Amy. Aku.. Aku tidak tau.. Aku sudah melakukan segala hal yang aku bisa lakukan. Tolong anakku, Amelie." Isabella kembali memohon kepadanya. Gordon menarik bahu Isabella dan merangkulnya.

"Dia anak yang kuat, Isabella." Gordon mengelus punggung Isabella dengan gerakan pelan yang menenangkan.

"Aku tau tapi dokter bilang.."

"Dokter tidak tau apapun tentang hidup dan mati." Gordon terdiam sesaat seolah-olah ia juga ingin memastikan perkataannya sendiri. "Aku akan meninggalkan kalian berdua." ucap Gordon dengan nada final lalu merangkul istrinya dan mengajak wanita itu meninggalkan kamar Nathan sejenak. Amelie terpaku di tempatnya, menatap Nathan yang berada di hadapannya namun juga begitu jauh dari sisinya. Raganya berada disini, namun tidak dengan jiwanya.

"Aku.. Mungkin aku meminta terlalu banyak darimu, Amelie. Aku tau setelah apa yang Nathan lakukan kepadamu, setelah apa yang keluargaku lakukan kepadamu, mungkin kau akan membenci keluarga kami. Mungkin.. Mungkin Nathan akan lebih baik pergi. Setidaknya dia tidak akan merasa bersalah lagi Amelie. Tapi.. Ini mungkin terdengar egois, aku ingin dia kembali, Amelie. Aku ingin adikku kembali." Tetes demi tetes air mata yang meluncur turun dari mata Savannah, membasahi karpet berwarna krim yang baunya juga seperti rumah sakit. Amelie benci rumah sakit, dia benci setiap kabar buruk yang ia terima dari rumah sakit. "Aku akan meninggalkan kalian berdua, mungkin kalian butuh waktu." Savannah berjalan melewati Amelie, suara klik pintu kembali menyadarkan Amelie kalau kini dia tinggal berdua dengan Nathan di ruangan itu.

Amelie berjalan mendekati Nathan yang terbaring di kasurnya, nafasnya yang terdengar teratur juga suara yang berasal dari elektrokardiogram seperti membawa irama ketenangan sendiri bagi Amelie, memastikan kalau pria itu masih ada dan belum pergi seutuhnya. Amelie meraih tangan Nathan secara perlahan seolah-olah memastikan kalau ia tiba-tiba melepaskan tangan pria itu, Nathan akan pergi meninggalkannya kapan saja. Lalu dia akan pergi seperti kedua orang tuanya.

Bangun, ucap Amelie dalam hati. Amelie lalu menarik kursi besi yang berada di dekatnya lalu duduk diatasnya. Semuanya ia lakukan tanpa melepaskan tangan Nathan sedikit pun. Ia lalu melihat tangan Nathan yang di balut gips, tubuhnya merinding seketika ketika membayangkan rasa sakit yang Nathan akan rasakan nanti setelah ia bangun. Ayo bangun, gumam Amelie lagi di dalam hati. Dia tidak pernah berada di posisi ini sebelumnya, tidak pernah ada seorang pun yang membiarkannya mengambil keputusan untuk hidup dan mati seseorang.

"Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, Nathan. Bangunlah," Amelie tau Nathan tidak akan pernah mendengarkan ucapannya. Pria itu terlalu jauh terlelap dalam tidurnya, mengistirahatkan pikirannya sejenak dari rasa bersalah yang ia rasakan selama ini. "Apa yang terjadi pada kita sebenarnya?" Amelie bergumam pelan, air matanya turun membasahi tangan Nathan yang sedari tadi di genggamnya. Amelie lalu mengecup buku-buku jari Nathan perlahan dan menatap wajah Nathan cukup lama. "I love you," ucap Amelie tanpa mengalihkan pandangan matanya dari wajah Nathan. "very much."

****

Soundtrack. Eternal Sunshine - Jhene Aiko

Saya sedang terobsesi dengan Jhene Aiko, terutama lagunya yang Eternal Sunshine ini. Apalagi video klipnya yang juga menggambarkan kecelakaan itu. Ah, pas sekali dengan keadaan Nathan.

Probably some of you thinking like "What?!" dan mengira kalau ini adalah epilognya padahal bukan. Lagi-lagi saya hanya memberikan bonus chapter. Seharusnya bonus chapter ini di taruh di The Bizarre Wedding. Tapi berhubung TBM masih dalam status unpublish dan belum di publish kembali, saya meletakkannya disini.

Catatan. Bagi yang bingung sama settingnya, ini terjadi beberapa hari setelah epilog The Bizarre Wedding.

tranquility | ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora