III. e c h o

20.3K 2.2K 80
                                    

e c h o

a sound heard again near its source after being reflected.

Suara jam berdetak pelan mengikuti gerakan jarum panjang yang terus bergerak setiap detiknya meskipun waktu terasa diam baginya.

Savannah berdiri di ujung pintu tanpa berusaha mendekat sedikit pun, seolah-olah kakinya lumpuh dan tidak mampu lagi berjalan mendekati sosok pria yang berada di hadapannya. Pria itu duduk di tepi kasur, wajahnya menunduk sementara kedua tangannya menggenggam erat ponsel yang berada di tangannya, kedua bahunya bergetar sementara tetes demi tetes air mata turun membasahi karpet yang berada di bawah kakinya.

Savannah bisa mendengar suara gaung di tengah mansion yang mereka miliki di Upper East Side, New York. Savannah bisa mendengar suara gaung bantingan pintu dari kantor ayahnya atau suara dentingan gelas dari arah dapur. Tapi lagi-lagi Savannah berdiri kaku dan menatap lurus ke arah pria itu.

"Anna, aku membunuh mereka." Suara pria itu terdengar bergetar dan sarat rasa bersalah. "Aku seorang pembunuh."

Ingin rasanya Savannah berjalan mendekati pria itu, memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja tapi kedua kakinya terasa lumpuh dan tidak ada satupun hal yang bisa ia katakan kepada pria itu karena Savannah tau ia tidak bisa berjanji kalau semuanya akan baik-baik saja. Karena kata baik-baik saja hanya akan menjadi sebuah benalu dan momok yang tidak akan pernah ia lupakan.

Jarum detik bergerak ke arah angka dua belas dan jarum lainnya mulai bergerak tetapi Savannah masih berdiri diam di ujung pintu.

"Mereka mati." Suara pria itu bagaikan gaung yang memekakkan telinga.

Pernahkah kau membayangkan sebuah meteor? Saat meteor itu jatuh ke permukaan bumi, hancur hingga membentuk kepingan-kepingan kecil hingga berubah menjadi debu dan tidak menyisakan apapun selain lubang besar.

Itulah yang pria itu rasakan saat itu. Rasa sakitnya tidak hanya menjalar di dadanya tetapi juga di dada orang-orang yang berada di sekitarnya. Bagaikan virus yang tidak bisa dengan mudah disembuhkan.

Savannah berusaha mendekat, dengan langkah pelan dan pasti kemudian melingkarkan tangannya di pundak pria itu menariknya ke dalam sebuah pelukan. Menarik adiknya dari lingkaran setan yang tengah dirinya buat. Savannah menarik nafas pelan kemudian mengucapkan sebuah kata dengan nada terlembut yang pernah ia keluarkan. "You still have me," ucap Savannah berbisik pelan.

Nathaniel Wright menghela nafas panjang dan menguburkan wajahnya di dada Savannah dan terisak pelan. Untuk pertama kalinya sejak sekian tahun mereka saling menjaga jarak, Nathaniel membiarkan Savannah memeluknya, menjadikan wanita itu sebagai jangkar tempat ia bersandar.

"You will always have me," ucap Savannah pelan dan mengusap rambut Nathan yang berantakan. Untuk sesaat Savannah merasa mereka seperti kembali kepada masa kanak-kanak. Saat usianya baru sepuluh tahun, saat ia memaksa Nathan menutup telinganya agar tidak mendengar pertengkaran orang tua mereka. Di hadapannya kini bukan lagi seorang pria beranjak dewasa, pria itu kini berubah kembali menjadi sosok bocah laki-laki.

"You will always have me, Nathan"Tidak ada hal lain yang bisa ia katakan karena di dalam hati ia tau kalau kata maaf atau kata kalau ia mengerti atau bahkan kata-kata 'kau akan baik-baik saja' hanyalah sebuah kebohongan. Savannah tidak mengerti, dia bahkan tidak tau apa yang terjadi. Dia hanya bisa memastikan kalau dia berada disana saat pria itu membutuhkannya.

Kali ini jarum menit berada tepat di angka dua belas memaksa jarum-jarum lainnya untuk bergerak pelan menuju arah lain sementara keduanya masih berada di tempat yang sama mendengarkan suara gaung detak jam dan jantung mereka yang beradu cepat.

tranquility | ✓Where stories live. Discover now