Uno

1.6K 84 11
                                    

Kimora atau yang biasa dipanggil Kimo itu menatap lurus ke arah seragam sekolah yang terletak rapi di atas ranjangnya. Ia baru saja mandi dan masih dibaluti handuk. Ia meraih seragam tersebut, kemudian menyelidiki seragam itu dari atas sampai bawah.

"Di Indonesia orang pakai seragam?" tanya perempuan itu kepada dirinya sendiri. Ia meletakkan seragam itu sembarang, lalu berdecak.

Sebenarnya tidak masalah baginya jika diharuskan memakai seragam, tapi ketika mengetahui bahwa seragamnya itu dipasangkan dengan rok, ia tidak suka. Sepanjang hidupnya, ia tidak suka memakai rok.

"Kimo, lo ngapain? Masih lama?" tanya kembarannya--Kemi dibalik pintu.

"Kenapa emangnya?" tanya Kimo masih sibuk dengan ketidaksukaannya terhadap rok abu-abu itu.

"Cepetan, dua puluh menit lagi bel sekolah bunyi. Gak lucu di hari pertama sekolah lo telat." sahut Kemi mengingatkan.

Kimo membulatkan matanya, langsung menatap jam yang tergantung di kamarnya. Ia tidak percaya kalau ia akan pergi sekolah sepagi itu.

"Yang bener aja. Ke sekolah sepagi ini?"

"Iya, makanya cepetan!" suruh Kemi dari luar mulai kelihatan tak sabaran.

Mendengarnya, Kimo berdecak lalu dengan malas-malasan ia memakai seragam tersebut.

***

"Kenapa lo?" tanya Kemi ketika melihat wajah Kimo yang datar tapi cenderung menunjukkan ketidaksukaan yang besar.

Kimo menggelengkan kepalanya singkat, kemudian berfokus menatap jalanan lewat jendela di sampingnya.

"Gue yakin pasti ada sesuatu yang ganggu lo," kata Kemi, sekali-kali melirik Kimo yang sejak tadi hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kemi tidak pernah tahu apa isi pikiran perempuan itu. Tidak ada yang pernah tahu.

"Kenapa lo ikut gue ke sini? Lo gak pindah tapi lo juga ke Indonesia dan bahkan sekarang nganterin gue ke sekolah," kata Kimo tanpa menatap lawan bicaranya.

"Gue ikut ke sini karena gue mau nganter lo seperti sekarang ini," jawab Kemi dengan santai tapi juga sedikit gusar ketika mobilnya mulai berhenti karena macet. "Apa-apaan jam segini udah macet?" gerutu Kemi.

"Kapan balik ke Amerika?"

Kemi menatap Kimo singkat, lalu menjawab, "Besok paling cepat. Kenapa? Lo kangen gue?" tanya Kemi sedikit menggoda. Kimo memutar bola matanya malas, lalu berdecak. "Gue cuma nanya, oke."

"Gue harap lo baik-baik aja di sini. Kimo demi apapun gue khawatir sama lo. Bisa lo tidak melakukan yang aneh-aneh selama gue gak ada di dekat lo? Karena gue bisa gila hanya dengan memikirkannya saja." Kemi berkata serius, tidak sanggup kejadian yang lama terulang lagi.

Kimo tidak menjawab, ia hanya berfokus pada jalanan. Sibuk bermain dengan isi pikirannya.

"Gue serius Kimo. Keputusan ayah buat lo pindah ke negara bunda, membuat gue khawatir berat sama lo. Gue rasa keputusan ayah kali ini gak bener," ujar Kemi kepada Kimo. "Mending kita balik ke rumah dan bicarain lagi sama ayah."

"Gak, Kem" tolak Kimo cepat ketika Kemi hendak memutar stir agar mereka kembali ke rumah. "Ini keputusan ayah, maka gue harus jalani. Percuma kalau gue balik, gak ada sekolah yang mau nerima gue di sana. Gue gak bisa ngandalin uang ayah terus."

Kemi terdiam ketika mendengar penuturan kembarannya itu. Kimo menghela napas pelan, lantas melanjutkan, "Lo gak perlu khawatirin gue. Gue bisa bertahan."

"Bertahan dengan melakukan kekerasan? Itu maksud lo?" tanya Kemi dengan tatapan menuding perempuan itu.

"Kalaupun harus, apa boleh buat. Dari dulu kita bertahan hidup memang dengan cara seperti ini kan? Bahkan lo juga." Perempuan itu menatap lurus seolah menerawang.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang