Bagian 6

26K 1.2K 13
                                    

Maya melihat sekali lagi jam dinding di ruang tengah, sudah pukul sepuluh pagi. Dia juga memastikan jam tangan dan jam digital di ponselnya menunjukkan angka yang sama. Aneh, sudah hampir siang begini Satya belum bangun juga? Maya mengetuk pintu kamar Satya sekali lagi, tapi suaminya itu masih tetap tidak membuka pintunya. Padahal biasanya jam tujuh pagi dia pasti sudah rapi lengkap dengan hidangan sarapannya di meja makan. Hari ini Maya terpaksa sarapan bubur ayam di depan kompleks karena Satya belum juga bangun.

"Apa semalam dia begadang sampai jam segini belum bangun? Memangnya dia nggak mau ke restoran ya?"

Maya merasa sedikit cemas, dia mondar mandir di depan pintu kamar Satya sambil menggigiti ujung kuku ibu jarinya. Dia coba memutar pegangan pintu dan ternyata tidak kunci. Mata Maya membulat! Dia mendorong daun pintu agar terbuka lebih lebar dan melongkokkan kepalanya ke dalam.

"Astaga!" Maya terkejut saat melihat Satya berada di lantai dengan posisi meringkuk. Maya menerobos masuk ke dalam kamar dan menghampiri Satya. Dia menaikkan kepala Satya ke pangkuannya dan memanggil nama Satya berkali-kali. Laki-laki itu bergeming, tanpa mengeluarkan kata apa pun, matanya juga masih terpejam. Keringat dingin membanjiri keningnya.

Dia sakit! Aku harus bagaimana? Telepon ayahnya? Telepon Ibu? Telepon ambulan? Ah, kelamaan!

Dengan susah payah Maya mengangkat tubuh suaminya, mendudukkannya di kursi roda, dan buru-buru membawanya ke mobil. Menaikkan Satya ke mobil bukan hal mudah, Maya sampai keringatan, karena ternyata tubuh suaminya itu cukup berat. Akhirnya dia berhasil mendudukkan Satya di kursi samping pengemudi dan memasukkan kursi rodanya di bagasi mobil.

Dengan hati-hati Maya menjalankan mobil dengan perasaan campur aduk. Satya masih belum sadar juga. Sesekali Maya mengelap keringat dingin yang mengucur dari kening Satya dengan tisu di dasbor mobil. Ini pertama kalinya dia menyetir dengan keadaan sangat tidak tenang. Tanpa pikir panjang mobil dimasukkan ke area parkir sebuah rumah sakit. Dia tidak peduli rumah sakit bagus atau apa pun, karena itulah rumah sakit pertama yang terlihat olehnya selama menyetir dengan jantung berdebar hebat.

Ranjang beroda menyambut Maya yang sebelumnya sudah heboh berteriak-teriak di meja resepsionis rumah sakit. Membuat beberapa orang perawat menghampirinya dan membantunya membawa Satya ke ruang IGD.

Satya dimasukkan dalam ruang IGD, perawat dan dokter melarangnya ikut masuk. Kepalanya ikut berdenyut saking paniknya. Dia memutuskan menelepon Ibu, Ayah dan juga Ayah mertuanya.

**

Satya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dokter bilang keadaannya tidak terlalu kritis. Ayah dan Ibu Maya sedang liburan di luar kota jadi hanya ada Ayah Satya yang sejak tadi menemani Maya menunggu Satya siuman. Dia masih pingsan sejak dibawa ke sini. Selang infus terpasang di tangannya sekarang.

Maya merasa sangat lelah membawa suaminya ke rumah sakit. Dia panik hingga menangis di depan Ayah mertuanya hampir satu jam tadi. Dia sangat panik, meskipun Ayah mertuanya sudah coba menjelaskan bahwa keadaan Satya tidak seburuk yang dia pikirkan. Setelah menangis hampir satu jam dan menunggu selama satu jam di ruang rawat inap, Satya belum juga membuka matanya, Maya tertidur di sofa. Ayah mertuanya menatap gadis itu, matanya tampak sembab.

Dia perempuan yang baik, hati kecilnya merasa terharu. Dia teringat mendiang istrinya yang selalu setia mendampinginya saat dia sakit. Istrinya selalu bilang, dokter memang bisa memberikan obat penyembuh untuk orang lain, tapi kasih sayang istrinya yang bisa menyembuhkannya lebih dari obat mana pun. Istrinya adalah perempuan yang sangat percaya diri, tapi di sisi lain juga bisa sangat histeris dan mudah panik. Sekilas sangat mirip dengan Maya. Apa mungkin karena Maya bisa lahir selamat kedunia salah satunya karena kebaikkan hati istrinya yang memberikan donor hati untuk ibunya. Ya, mereka terasa mirip.

Selamat Datang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang