"Putri Narra dan Vano." Tebakannya sekali lagi membuat kepalaku mengangguk, begitu benar tanpa ada salah sedikitpun.

"Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Apa kamu bisa membantuku?" Dia bertanya kembali, membuatku menyetujuinya dengan ragu.

"Memang apa yang bisa ku bantu?"

"Aku ingin bertemu Ares." Permintaannya membuatku bingung, aku baru saja meninggalkan apartement itu dan sekarang apa aku harus kembali lagi ke sana?

"Ku pikir saat ini mungkin bukan ide yang baik." Ujarku pelan, berharap ia mengerti.

"Oh, tolonglah Almyra, aku tahu kamu sangat baik seperti kedua orang tuamu." Dia memohon, bahkan sampai mengatupkan kedua tangannya, membuatku iba. Aku yakin dia pasti sangat merindukan Ares, Putra kandungnya.

"Baiklah."

***

Aku membunyinkan bel apartement Ares berulang-ulang namun tak kunjung ada jawaban atau sekedar pintu terbuka.

Tubuhku mendadak membeku ketika pintunya tiba-tiba terbuka dan menampilkan sesosok laki-laki dengan rambut coklat yang berantakan.

Mata kami bertemu sesaat, mata coklat nan terang itu menatap tepat ke arah mataku. Aku segera mengerjap, mengingat niat semula datang kesini untuk apa. Ares pun bahkan memutuskan kontak mata di antara kami terlebih dahulu, pandangannya dengan cepat beralih menatap laki-laki paruh baya di sampingku.

Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat Ares mengatupkan rahangnya. Pandangan mata laki-laki di depanku begitu menakutkan, dengan wajah penuh kebencian dia menatapku dan laki-laki di sampingku.

"Mau apa kalian kemari?" Ooh my, suaranya begitu mencekam.

"Hai, Nak." Pak Alan menyapa, membuat Ares bertambah geram dan berniat akan menutup pintu.

"Ares, tunggu." Ku cegah pintu apartementnya yang akan di tutup, Ares kini memusatkan tatapan bencinya padaku. Oh, matilah aku.

"Boleh kami masuk?" Ku harap pertanyaanku yang satu ini dapat melunakkan hatinya. Udara di luar sana begitu dingin, Ares tidak mungkin setega itu membiarkan anak dari orang yang sudah dia anggap sebagai orang tua kandungnya dan Ayah kandungnya kedinginan. Cih, percaya diri sekali aku ini.

Dengan berat hati, Ares mengizinkan kami masuk. Mempersilahkan menduduki sofa panjang hitamnya sementara dirinya duduk di single sofa.

"Aku senang kamu mau bertemu denganku malam ini." Ares membuang pandangannya ketika Pak Alan memulai suatu pembicaraan.

"Ada apa?" Tanyanya dingin membuat tubuhku meremang.

"Bagaimana kabarmu, Nak?" Satu alis Ares terangkat sambil menatap Pak Alan begitu benci.

"Pintu apartement saya terbuka untuk mengantarkan anda keluar dari sini." Dia menutup pembicaraan singkat ini kemudian bangkit berdiri. Sorot matanya begitu angkuh, dia kembali pada tabiat awalnya.

Aku ikut bangkit dari posisi dudukku di susul oleh Pak Alan, secara tidak sengaja Ares juga mengusirku karena aku yang membawa pria paruh baya di sampingku ini.

"Ares, beri Ayahmu kesempatan untuk bicara." Aku terpaku ketika tatapan matanya yang tajam menatap ke arahku. Mulutku begitu gatal untuk menilai apa yang di lakukannya pada Ayahnya.

"Aku tidak ingin bicara pada pembunuh itu." Dia mengklaim, begitu kejam.

"Baiklah, aku akan pergi."

"Tunggu, Pak. Semua ini harus di bicarakan lebih jelas." Sergahku berusaha bisa mengembalikan ikatan batin di antara mereka.

"Tidak apa, aku tahu kehadiranku tidak di inginkan." Suara Pak Alan entah mengapa begitu terdengar pilu di telinga. Derap langkahnya perlahan terdengar menjauh dari posisi kami sekarang. Oh, pria paruh baya itu benar-benar pergi.

Simplicity of LoveWhere stories live. Discover now