Selama aku masuk ke rumah, Darma menunggu di pinggir jalan depan rumahku. Rajo sedang bermain di ruang tengah. Sekotak mainannya tergeletak di lantai. Syukurlah, dia baik-baik saja.

"Kamu tidak memainkan nintendomu?" tanyaku.

"Nanti lagi," kata dia.

"Kakak mau pergi, kamu tetap di rumah ya," kataku.

Dia menoleh ke arahku. "Aku ikut!"

"Jangan," tanggapku seraya menoleh ke jendela depan. Aku tidak bisa melihat Darma dari sini.

"Aku ikut! Aku mau ikut!" Dia buru-buru memasuk-masukan mainannya kembali ke dalam kotak.

Karena melihatnya ingin sekali ikut denganku, sepertinya tidak ada masalah jika aku bawa dia. Aku pun menaruh tas di kamarku dan mengganti pakaian sebelum ke luar menemui Darma lagi.

"Ini adikmu?"

Aku mengangguk.

Rajo mengajak Darma bersalam. "Namaku Rajo, Kak. Dahlan Putra Rajo."

Darma kemudian mengelus pelan kepala Rajo. "Nama Kakak, Darma. Darma Dwi Atmaja," katanya yang kemudian berjongkok di depan Rajo, menatap adikku dengan pandangan yang ramah. "Kau tahu arti namamu?"

Rajo menggeleng.

"Kau adalah pangeran yang akan membawakan berita untuk orang-orang di sekitarmu," ujar Darma.

"Seperti pembawa berita di televisi?"

Darma terkekeh. "Tidak. Berita itu mungkin sesuatu yang penting, yang besar, dan sangat berguna."

"Mungkin aku belum mengerti sekarang, tetapi kalau sudah besar aku pasti mengerti," kata Rajo.

"Anak pintar." Darma kembali berdiri. "Ayo, kita berangkat."


Jalan menuju markas yang dimaksud Darma biasanya berlawanan arah dengan jalan menuju ke rumahku jika dimulai dari sekolah. Namun, jika kami kembali ke arah sekolah, jaraknya malah akan lebih jauh dibanding jalan memutar yang akan melewati jembatan. Bisa kusimpulkan jika markasnya ada di daerah yang sama dengan rumah Naya.

Markas yang Darma bilang ternyata adalah sebuah bagunan tidak terpakai yang letaknya dekat dengan padang rumput yang sampingnya ada kebun jagung. Bangunan ini pasti sebuah gardu sebelum diubah oleh Darma menjadi seperti rumah kecil dengan hanya satu ruangan di dalamnya.

"Pamanku dulu menggunakan tempat ini sebagai tempat istirahat saat sedang menggembala domba-dombanya," kata Darma yang sedang memasukkan kunci ke dalam gembok pintu.

"Kak, aku lihat belalang melompat-lompat. Apa aku boleh menangkap mereka?" tanya Rajo menunjuk ke arah padang rumput.

Aku masih protektif dengan adikku. "Jangan!"

"Biarkan saja, lihat di sana juga ada anak-anak lain," ujar Darma.

Kuperhatikan dari kejauhan memang ada beberapa anak yang sepertinya juga sedang mencari belalang di antara rerumputan.

Aku melepas napas. "Jangan jauh-jauh, ya," kataku ke Rajo.

Rajo pun berlari ke padang rumput dengan senangnya. Kurasa dia memang perlu punya teman. Kesehariannya yang hanya di rumah pasti membosankan baginya.

Kupikir akan ada banyak hal di dalam ruangan ini. Nyatanya, hanya ada meja dan kusi panjang—sepertinya biasa untuk tidur karena ada bantalnya. Namun, sepertinya bukan ini yang dimaksud sebagai markasnya, karena Darma membuka papan kayu besar di lantai dan ternyata ada lubang di sana, lubang yang menuju ke ruang di bawah tanah.

Darma menuruni tangga, tiba-tiba aku agak ragu. Aneh, aku tiba-tiba memikirkan kata-kata Gilang waktu itu. Namun, Darma tidak akan mungkin melakukan itu. Aku harus berpikiran positif. Kuputuskan untuk mengikutinya turun.

Di bawah sana adalah kenyataan dari apa yang aku bayangkan. Ruangan itu, sebuah ruangan yang cukup luas dengan cahaya yang berasal dari bagian pojok atap yang berupa kaca. Di sana, ada papan-papan yang ditempeli banyak kertas, ada juga papan tulis kapur yang ditulisi oleh Darma, lemari berisi buku-buku, meja dengan alat-alat di atasnya, dan yang membuatku tercengang karena di sana ada ranjang dan kasurnya.

Rema akan diperkosa oleh pengirim surat itu.

Tidak ada bukti pasti jika Darma bukanlah pengirim surat itu—selain omongan Naya. Untaian tali tersambung-sambung di otakku. Sebuah skenario terbentuk. Darma mengirimiku surat itu sebagai tanda dimulainya misteri yang dia buat dengan kedok meminta maaf untuk apa yang akan dia lakukan, lalu dia membayar dukun untuk menyantetku—mengingat dia bicara soal santet. Ketika aku kehabisan akal untuk mengetahui siapa pengirim surat itu, aku akan meminta bantuan padanya. Sangat jelas saat dia memberikan sebuah sugesti bahwa dia memiliki banyak catatan tentang bagaimana dia memecahkan kasus dan membantu polisi.

Saya rasa kamu sudah dengar gosip-gosip itu.

Sugesti semacam itu tanpa sadar telah membuatku mengakuinya sebagai orang yang ahli dalam memecahkan misteri. Dia memunculkan wajahnya beberapa kali di depanku untuk membuatku ragu, membuatku akhirnya mau meminta tolong padanya—terlebih santetnya memang bukan main-main efeknya.

Jika teoriku benar, aku sedang terperangkap. Aku masuk ke lubang jebakannya. Seketika aku gemetaran. Melihatnya membuka kancing seragam pramukanya, menyisakan kaus putih tipisnya, aku semakin yakin. Dia membawaku ke sini agar aku mau tidur dengannya, di ranjang itu. Tidak salah lagi.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Cerita ini ada beberapa hal yang disinggung, seperti kasus pelecehan seksual, atau keimanan seseorang pada agamanya, dan hal-hal lain. Apa kalian tidak keberatan akan hal itu?

3. Apa kalian tidak keberatan jika ada percintaan di cerita ini? Tapi horor tetap sajian utama di samping misteri.

 Apa kalian tidak keberatan jika ada percintaan di cerita ini? Tapi horor tetap sajian utama di samping misteri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hadiah permainan di Bagian 28: Memiliki kemampuan tampol online. (Klik profil netizen yang dituju, otomatis dia akan merasakan tampolan, klik sepuasnya maka dia akan ditampol berkali-kali)

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang