Hari Sabtu, aku kembali masuk sekolah. Setiap anak di kelas kuperhatikan dengan penuh kebencian. Satu di antara mereka telah membuatku seperti ini. Satu di antara mereka telah membuatku hampir gila. Satu di antara mereka menginginkanku mati.

"Aku putus lagi," Sari tampak sedih.

Lagi-lagi, dia memulai dramanya.

"Dasar kucing, ganti pacar aja terus," sahut Danu yang duduk di meja.

"Satu ..," suara Hani di pojok ruangan terdengar.

"Emangnya kamu punya, Dan?" tanya Gilang.

Danu menggeleng. "Tidak. Ada masalah?"

Hendra mendekati Sari. "Sari, ini adalah perangko kebahagiaan. Sekali kau melihatnya, ma—"

"Pergi dari hadapanku a—"

"Iya, iya. Aku pergi."

"Tiga ...."

"Ajeng, mana pulpenku yang kemarin kamu pinjam!" kata Dewi yang tampak marah.

"Aku tidak meminjamnya," jawab Ajeng mengelak.

Entah bagaimana, setiap detail kata-kata acak yang mereka ucapkan dapat masuk ke telingaku. Seluruhnya, Indra pendengaranku seakan sedang mengalami penguatan dengan mencoba mendapatkan seluruh kata yang diucapkan mulut-mulut di kelas ini.

"Lima...."

"Tidak berhak?" Danu tampak marah.

"Iya, jomlo tidak berhak bilang kayak gitu."

"Sudah lama aku ingin menonjok muka songongmu itu, Lang."

"Santai, jangan sekarang."

"Tujuh ...."

"Kita duel?"

"Ayo, kapan?"

"Kalian malah debat, dengarkan aku yang mau curhat," Sari menyela.

"Sembilan ..., sepuluh."

"Tidak aja jalan lain, Rema...."

Suara siapa itu? Aku mencari-cari asal suara terakhir yang kudengar.

"Hei!" Naya mengagetkanku.

Aku menatapnya dengan masih dalam kondisi panik. Naya duduk di sebelahku, melihatku dengan pandangan yang aneh, lebih tepatnya bingung.

"Kemarin kenapa kamu tidak masuk?" tanya Naya yang tampak khawatir. "Kemarin, aku mau ke rumahmu, tapi tidak jadi karena aku ingat kalau aku ada janji dengan ibuku untuk mengantar makanan ke rumah nen—"

Aku menyela. "Istirahat. Kemarin aku hanya butuh istirahat."

"Kamu dialpa untuk pertama kali," kata Naya yang khawatir.

"Bagus. Pengalaman," sahutku.

Naya menggeleng, dia seperti tidak mengerti dengan perkataanku. Atau mungkin, dia merasa bahwa Rema yang ada di depannya adalah Rema yang berbeda dengan yang dia kenal seharusnya.

"Aku ingin kamu bertemu dengannya," kataku.

"Aku? Bertemu dengan siapa?"

"Ke orang yang yang selalu kamu harapkan untuk aku temui," jawabku dengan malas.

"Darma!" Naya hampir menjerit kegirangan. Dia sadar dan mulai berbisik, "untuk apa kamu memintaku menemuinya? Apa ada yang harus kusampaikan padanya?"

"Bilang saja ke dia, kalau saat pulang sekolah, tolong ikuti aku," kataku.

"Itu saja?"

Aku mengangguk.

"Siap!"

"Kalian benar. Masih banyak cowok. Lagi pula, tidak ada cowok yang tidak bisa kudapatkan," Sari percaya diri.

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang