1. Double A

Mulai dari awal
                                    

"Umurmu sudah 23 tahun, jadi berhenti menjadi anak manja. Ayo turun." Aku membuka pintu mobil Ayah sesuai perintahnya. "Sesudah itu langsung pergi ke kampus, jangan bolos. Ayah sayang padamu." Ayah mendaratkan ciumannya di kepalaku, aku mengangguk lesu kemudian segera turun dari mobilnya.

Setelah mobil Ayah benar-benar menghilang, ku langkahkan kaki setengah menghentak-hentak memasuki Rumah Sakit milik Om Rendy dan Tante Sania. Suasananya masih sepi, hanya ada beberapa suster dan pasien yang sedang menduduki kursi tunggu menunggu giliran mereka untuk check-up. Langkah kakiku mengantarkanku di depan ruangan milik sepasang Suami Istri yang menjadi sahabat karib Ayah dan Bundaku.

Sebelum pintu ku ketuk, seseorang telah membukanya. Ah, ini dia orang yang ku cari. "Selamat pagi, Om."

"Hai, Almyra. Kami sudah menunggu, Narra bilang kamu akan kemari. Ayo silahkan masuk." Aku tersenyum kemudian memasuki ruangan bercat putih ini setelah pintu di buka lebih lebar.

Nafasku tercekat sepersekian detik saat menatap laki-laki itu, dia duduk dengan santai diatas sofa berwarna biru tua dengan memakai kemeja putih pas di badannya yang terbentuk gagah. Alih-alih membuang pandangan, aku malah terus menatapnya hingga tersadar sampai saat Tante Sania berdeham. "Hai, Almyra."

"Hai, Tante." Ku alihkan pandangan ke arah Tante Sania sambil melemparkan sebuah senyuman. Kemudian pandanganku kembali beralih lagi menatap mata coklat nan terang milik laki-laki itu sesaat sebelum menyapa. "Hai, Ares." Dia mengangguk membalas sapaanku tanpa sebuah senyuman, wajah tampannya terlihat datar.

Tante Sania menarikku duduk di sebelah Ares, sementara dirinya dan Om Rendy duduk di kursi kebesaran mereka sebagai Dokter. Kejadian ini membuatku lantas menjauhkan diri hingga duduk terpojok di bagian kiri sofa. "Bunda bilang, kalian di undang ke acara Barbeque nanti malam." Setelah diam sekian lama akhirnya aku berhasil meluncurkan perkataan yang Bunda pesankan.

Om Rendy tertawa, meski usianya sudah memasuki kepala 4 tetapi wajahnya masih tetap tampan. "Bundamu aneh sekali, segala komunikasi sudah canggih tetapi kenapa mesti mengirimmu untuk menyampaikan undangan tersebut." Aku tersenyum tipis menanggapinya. "Oke, baik, kami akan datang." Setelah berhenti tertawa barulah Om Rendy menyetujui untuk datang.

"Hanya itu Almyra?" Tante Sania bertanya.

"Sebenarnya ada lagi yang ingin Bunda bicarakan. Tetapi mungkin Om dan Tante bisa menanyakannya langsung. Aku hanya disuruh untuk mengatakan itu saja."

"Pa, Ma, aku harus berangkat." Suara bass nan berat itu bicara dari samping sofa yang ku duduki. Aku tahu ini suara Ares, dia pria yang irit bicara sekali.

"Kalau begitu kamu sekalian antar Almyra ke kampusnya ya, Ares."

"A-apa? Um, tidak usah repot-repot, Tante Sania."

"Tidak apa, kantor Ares dan kampusmu kan searah. Kamu seperti dengan orang asing saja." Dia memang bukan orang asing, tetapi dekat dengannya membuat jantungku berdebar hebat. Aku membatin.

"Ayo, Almyra." Laki-laki itu mengajakku setelah berdiri dari duduknya. Aku terkesiap kemudian lantas bangkit sambil mengenakan tas ranselku.

Setelah pamitan dengan Om Rendy juga Tante Sania, Ares membawaku masuk ke dalam mobil sport merahnya. Sepanjang perjalanan kami hanya diam hingga menciptakan suasana hening yang hanya di isi oleh lagu-lagu yang mengalun dari Radio dalam mobil ini. Ares diam seribu bahasa, tidak bertanya ataupun memulai suatu pembicaraan sementara diriku dengan susah payah mengatur debaran jantung yang sulit diartikan.

Okay, aku mengaku bahwa Ares sangatlah tampan sebagai pria dewasa kedua setelah Ayahku. Aku menyukai apa yang ada pada dirinya, mata coklatnya yang terang, alis hitamnya yang tebal dan rapih, hidung mancungnya, rambut hitamnya yang tebal juga rahang kokohnya yang menambah kesan sexy. Ares juga memelihara kumis dan brewok yang tipis di sekitar wajahnya, membuatku susah menangkap oksigen setiap kali memperhatikan wajahnya. Terlalu sempurna bukan?

Simplicity of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang