[Part 8] Promise

4.3K 468 10
                                    

Ulian pituduh,Ida kasengguh
Sang Sané Ngawi sami dumadi
Ala-ayu tuah pakardi Ida Sané Ngawerdi
Kasungkemin saider buana sami

---

Puja memandangi air kolam renang yang biru dan tenang. "Kamu harus tenang Ja, ini adalah keputusanmu untuk selamanya. Harus kamu pikirkan baik baik". Ibunya yang baru pulang dari beberapa acara mendekati putranya yang asyik merenung. "Kamu kenapa lagi sih?. Mama lihat akhir-akhir ini wajahmu masam, kenapa?". "Ma...". Puja memandang lekat wajah ibunya. "Puja...akan menikah...", mengucapkan tiga kata itu saja membuatnya mual, menikah adalah salah satu kata yang dia delete dari kamus hidupnya, tapi sekarang terpaksa dia torehkan lagi, dengan darah, malah. Ibunya menatapnya tak percaya. "Siapa gadis yang beruntung itu?". "Siapa gadis yang paling sial itu...",batin Puja. "Kayaknya mama nggak pernah lihat kamu bersama seseorang, bukankah kamu sudah putus sama Tania, mama nggak tahu kalau akhirnya kalian memutuskan untuk menikah". "Bukan Tania...", dengan hati-hati Puja menceritakan semua pada ibunya. "Kamu nggak perlu menikahinya, kamu nggak tahu siapa dia, beri saja dia dan keluarganya rumah dan uang". "Itu nggak menyelesaikan masalah, ma". "Tapi, apa kamu yakin?". Puja menelan ludah. "Aku...mencintainya...aku memang nggak kenal dia, tapi aku mencintainya jauh sebelum ini, memang ini sudah digariskan untukku, sekarang bukan saatnya mempertimbangkan apakah dia pantas untukku atau tidak, tapi apakah aku pantas untuknya atau tidak...". Ibunya berpikir, kejadian ini sangat mirip dengan kejadian yang menimpa ibu kandung Puja, apakah takdir memang sudah menggariskan demikian?. Dipandanginya wajah tampan itu baik-baik. Wajah yang seolah layu dan rapuh, belum pernah dia melihat kehancuran seperti itu dalam diri Puja. "Baiklah, terserah kamu saja...".

---

Sinta menceritakan semua kesedihannya kepada ibunya. Kejadian yang menimpa dirinya dan alasannya untuk menjadi penari. "Ibu tahu nak, kau tak bersalah, tapi kau harus menemui pemuda itu". "Untuk meminta pertanggungjawaban?. Tidak ibu, dia memperlakukan aku seperti sampah, dia sudah menghancurkan aku", di pelukan wanita itu Sinta mencurahkan seluruh kesedihannya. Diam-diam seorang wanita mendengarkan pembicaraan mereka. Kakak ayahnya, Ni Seruni memang selalu iri pada Ni Melati, ibu Shinta. Kejadian seperti ini sangat menarik, sekali tepuk, dua lalat kena. Dengan cepat dilaporkannya kejadian itu pada Gusti Mahendra.

"Putrimu sudah melakukan perzinaan, dan hukum adat harus kau jalankan". Mahendra yang mengerti sifat buruk kakaknya menggeleng tidak percaya. "Dia tak pernah keluar rumah, lagipula, dia tidak mengenal akrab pemuda satupun di wilayah ini". "Diam-diam dia pergi ke Hotel dan menjual dirinya dengan harga mahal". "Lancang kau kak, putriku gadis terhormat, tidak mungkin dia melakukannya". "Baiklah kalau kau tak percaya, kau bisa tanyakan sendiri pada anak tersayangmu itu".

Sinta memandang kaget sosok ayahnya yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya. "Ni Seruni sudah menceritakan sesuatu yang aku tak percaya kau sanggup melakukannya, Sinta, apakah yang dikatakan Ni Seruni benar, kalau kau sudah melakukan hal yang tak pantas?". Sinta terdiam, ayahnya adalah orang yang keras. "Kenapa kamu diam, Sinta?". Mahendra merasa hatinya hancur melihat diamnya Sinta. Berarti semuanya benar, dan hukum adat harus ditegakkan. "Kau tahu, apa yang harus kau lakukan untuk menebus dosamu?". Sinta hanya diam, mungkin ini sudah takdir, ibunya nggak tinggal diam. "Mahendra, kejadiannya tidak seperti yang kamu kira...ini bukan salah Sinta...", tapi Mahendra abai, hatinya terlalu kecewa dan sakit.

"Jangan ngebut, kalau kamu mati, masalah malah semakin parah", Jangga menenangkan pemilik jaguar hitam itu. Puja abai, kecepatannya malah dia tambah. Semalam dia mimpi sangat buruk, gadis cantik itu terbaring pucat di kamar, pergelangan tangannya berdarah, dia mengiris nadinya, bunuh diri. Dengan tubuh gemetar Puja mengendarai mobilnya, di sebuah perempatan, hampir saja mereka menabrak sebuah truk. "Ja...berhenti! Berhenti kataku!". Jangga mencekal lengan Puja yang berusaha kembali menyetir. "Kita tukar tempat". "Diamlah". "Kamu yang diam, kita hampir mati tadi...kita tukar tempat, biar aku yang nyetir!". Puja menghela nafas, dengan enggan dia keluar dan berganti posisi dengan Jangga, Wayan dan Andika yang berada di belakang menghela nafas panjang, lega.

Love In BaliWhere stories live. Discover now