[Part 3] Broken Dream

5.8K 520 5
                                    

Tresnané magantung
Kaéwérin olih Idedalu
Ané lekad uling selagan batisé
Milu mangiladin mata
Ngawinang manahé sayan lanyah

---

"Lu bantuin kita dong man, perasaan selama ini lu yang paling nggak betah tinggal di sini, harusnya lu paling semangat bebenah dong", gerutu Andi, sementara Puja tertidur dengan santainya, wajahnya yang tampan dan angkuh seolah nggak terpengaruh hembusan angin yang dingin menerpa, bulu matanya yang lentik sedikit bergerak, seolah menikmati buaian bayu yang mengelus rambutnya. "Heiiii, banguuuun!". Puja masih cuek. Jangga dan Wayan tertawa melihat wajah Andi. "Dia lagi mimpi ketemu bidadari tuh, atau...kesambet ...",gerutu Andi. "Udah deh, kalau semua sudah beres dan dia nggak mau bangun juga, kita harus seret dia, ibunya sudah menelepon, katanya nanti siang harus mengikuti rapat penting pemegang saham Nirvana Hotel". Puja akhirnya membuka mata, telinganya berdengung setiap mendengar kata saham. "Oke..oke, aku bangun nih, kalian sudah siap?". "Iya, tapi kami mau sarapan dulu, ayo...", Puja memandang keluar jendela yang terbuka lebar. "Kalian sarapan dulu, aku jalan sebentar...gelangku hilang, mungkin masih bisa ketemu".

Gelang berbatu biru itu adalah pemberian ibunya, dulu, waktu dia kecil, ibunya memberikan gelang yang katanya milik ayahnya. Dulu benda itu selalu dipakainya, tapi karena sudah terlalu kecil, dijadikannya sebagai hiasan seperti gantungan kunci karena bentuknya yang lentur seperti kalung kecil. Warnanya biru terang, warna yang membawa keberuntungan, kata ibunya waktu itu. Suasana desa mulai agak ramai, beberapa ibu menyapu halaman, canang sesaji sudah disiapkan, beberapa upacara rutin sedang berlangsung, di sebuah rumah besar, kesibukan mewarnai, mungkin akan ada semacam upacara. Tak sengaja, matanya menatap ke arah seseorang, lagi-lagi gadis itu, memakai kebaya putih, asyik berbincang dengan beberapa orang temannya. "Kamu mau masuk?, upacara sebentar lagi dimulai", seorang pemuda berpakaian adat menyapanya. "Nggak, aku hanya ingin melihat, ini upacara untuk apa?". "Pemotongan rambut bayi, kalau mau melihat silahkan, tapi saat upacara berlangsung tolong matikan HP, Radio atau...", tiba-tiba HP Puja berdering. "Hallo?". "Ja, ini Jangga, kita dah siap, mau pulang nggak?". "Ya, tunggu aku". Puja menatap pemuda itu, apakah pantas untuk menanyakan gadis itu?. Harga diri melarangnya, lalu Puja pergi diiringi tatapan heran si pemuda.

"Kamu kenapa, Ja?. Dari tadi lesu banget kayak mau ketemu penagih hutang aja, udah ketemu belum gelangmu?", Jangga nyengir. "Hilang, mungkin jatuh, salahku juga, selalu membawa benda itu". "Ayolah, kamu kan bisa beli lagi, eh, di Hotel kan udah pada nunggu tuh para penggemar...", Andi mengerling. "Tuan muda kita...yang playboy abis, paling setelah memeluk salah satu pacarnya juga dia ceria lagi...". Puja nggak berkomentar. Mobil mereka sudah memasuki pelataran hotel. Puja melihat ibunya sudah menyambutnya, begitu pula para pegawai. "Gimana liburannya?", tanya sang ibu. "Lumayan...rapatnya jam berapa?". "Dua jam lagi". "Bagus, kami belum mandi, kamarku sudah siap kan Ma?". "Ya, sebaiknya kamu bersiap-siap".

Dengan setelan jas Armani hitamnya, Puja semakin terlihat angkuh. Kata-katanya yang keras dan tegas, mata elang yang dinaungi alis rajawali itu semakin menguatkan karakternya, sayangnya, Puja tidak terlalu menyadarinya. Dia masih belum bisa menemukan eksistensi dirinya. Lulus S1 sebagai ekonom saat kuliah di Amerika, meneruskan S2 di Australia dan belajar mengenai perhotelan dengan meneliti kinerja perhotelan di Jakarta dan Yogyakarta, hasil penelitiannya banyak mendapat penghargaan, karena Puja sangat perfeksionis. Setiap perancangan hotel, semua harus sempurna, pemilihan tempat, warna dan pelayanan harus memuaskan. Kadang, saat bekerja, dia nggak perduli keadaan sekelilingnya. Bisa dua hari dia nggak keluar dari ruang kerjanya, meneliti laporan keuangan sampai perancangan design. Dia tidak mempercayai seorangpun anak buahnya, karena Puja memang nggak pernah bisa mempercayai sesuatu kalau belum melihatnya sendiri. "Kadang kita memang harus mengorbankan sebagian kepentingan untuk mencapai lebih banyak kepentingan yang menyangkut lebih banyak orang, mengenai sumber air, Hotel Citrus, meski tempatnya di dekat gunung, kita harus mengandalkan persediaan air sendiri, dan jangan sampai limbah dari hotel ini mencemari lingkungan yang masih asri, pembuangan sisa makanan, air dari tempat laundry dan limbah lain kita buatkan kolam penampungan tersendiri, kita bisa buat lahan kosong di sebelah utara ini untuk kolam ikan, setelah air disaring, saya pastikan air ini aman untuk ikan dan air dari kolam ikan inilah yang akan kita alirkan ke sungai, meski membutuhkan biaya tambahan, tapi hasil ke depannya saya rasa menjadi lebih baik. Ada pertanyaan?". Semua orang setuju, meski beberapa masih dengan wajah yang kurang puas. Saham diberitakan mengalami peningkatan meski hanya sedikit, tapi Puja memberi keyakinan kalau semakin lama, saham akan naik. "Hanya hotel Citrus yang menyediakan layanan istimewa untuk berpiknik mengunakan Gajah, untuk mengelilingi desa. Di beberapa taman, kita akan lepaskan beberapa ekor rusa. Semua harus dibuat sealamiah mungkin tapi pelayanan harus semodern mungkin".

Setelah Citrus, giliran rapat untuk saham Nirvana dan pembukaan hotel Glory. Hampir enam jam Puja berbicara di tiga tempat berbeda. Semuanya berjalan sesuai rencana. Dengan wajah lelah dia menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya untuk dibukanya Glory mulai minggu depan, banyak persiapan harus dilakukan. Siapa saja yang harus diundang dan tema acara sudah dipersiapkan oleh ibunya.

Puja membaca proposal acara. "Ma, mungkin kebanyakan tamu kita adalah orang asing, aku rasa pertunjukan tentang tarian daerah akan lebih menarik, kita buat panggung besar di depan hotel, bagi yang ingin menikmati suasana kafe pun kita bisa persiapkan, di Glory kita harus menonjolkan suasana Bali Tradisional, sasaran kita adalah para orang kaya yang baru keluar dari rumah sakit, butuh hiburan dan ketenangan. Layanan kesehatan dan spa harus dipersiapkan dengan baik. Kita akan bekerja sama dengan beberapa rumah sakit di Singapura dan Jakarta untuk mempromosikannya". "Bali tradisional ya...", tanya ibunya "Bukankah rumah sakit di Singapura sudah dilengkapi dengan semua sarana kesehatan dan spa itu, buat apa jauh-jauh ke Bali kalau pelayanan seperti ini bisa mereka dapatkan di Singapura?. Kita menawarkan hiburan yang menenangkan dan suasana eksotis tapi damai, yang bisa mempercepat menumbuhkan semangat untuk kembali sehat". Puja memijit keningnya. "Kenapa Ja?". "Hanya sedikit lelah, setelah tidur sebentar, akan kuteruskan ini Ma, dua jam lagi kita bicarakan lagi", Puja mengecup kening ibunya dan berlalu.

---

"Kau kenapa?", Sintawati menatap Saras dan Ratri yang dengan serius berbincang-bincang. "Oh, kau...sini, kau mau mengambil bukumu yang kupinjam?. Tunggu sebentar ya...",Ratri masuk ke rumah dan tak lama dia kembali. Sinta tersenyum sambil menerima bukunya. "Katanya ibu kalian sakit?. Ibuku belum bisa menengok karena ada keperluan. Aku disuruh mewakili". Saras dan Ratri mengangguk, "Kami butuh banyak biaya, kau tahu sendiri, ayah kami tidak bisa diandalkan, beliau lebih suka berjudi dan adu ayam, sementara uang kami sudah habis, untuk berhutangpun sudah tidak sanggup lagi". "Lalu, apa rencana kalian?". "Menjadi penari, sanggar tari Ki Djalu butuh beberapa penari untuk menari di hotel...". "Hotel?, kalian tidak takut?". "Ini tari tradisional, seperti kecak, jangger dan lainnya, kami murni menari dan tidak seperti yang lainnya, yang katanya penarinya bisa dibayar oleh lelaki itu kan?, makanya meme mengizinkan, hari ini kami mencoba mendaftar, tapi saat kami menari nanti, siapa yang akan merawat meme?". Sinta berfikir sejenak. "Bagaimana kalau aku menggantikan Ratri menari?". Kedua sahabatnya terbelalak. "Kamu putri pendeta, ayahmu pasti marah". "Makanya, jangan sampai ayahku tahu". Saras dan Ratri saling berpandangan. "Terimakasih Sinta, kami nggak tahu musti gimana lagi...".


Love In BaliWhere stories live. Discover now