Power Down (III) *14

59.3K 4.9K 125
                                    

"Hari ini kita akan menginap di sini." Jim-Sensei mengucapkan keputusannya sambil mengangkat kayu yang besar dengan menggunakan kekuatannya.

"Kalian silahkan membuat rumah kemah sendiri dengan kekuatan kalian," ujar Tixe-Sensei, "Kalau kalian memiliki kekuatan yang tidak berwujud, kalian boleh mencari teman satu tempat segender."

[Note: Kekuatan yang tak berwujud misalnya seperti membaca pikiran, angin, mengontrol emosi, dan segala bentuk kekuatan yang tidak dapat terlihat dan tak memiliki wujud].

Ditengah kesibukan semua orang, aku dengan secepat kilat menggabungkan sepasang sayap yang besar dengan kekuatanku. Tentu saja aku membiarkan Invi masuk didalamnya.

"Kau masih kepikiran buku itu?" tanya Invi memastikan, karena tanpa mendengar jawabanku sekalipun, aku tahu dia telah mengetahui jawabanku.

"Iya, aku akan coba cari lagi nanti." jawabku.

Aku keluar dari rumah sayapku untuk melihat-lihat sebentar. Mataku menerjap dan aku memekik pelan, aku seperti layaknya di dunia dongeng! Ada yang membuat rumahnya dari batu, kayu dan bahkan ada yang membuat rumah di atas pohon.

Tapi, yang jelas mengundang perhatian adalah rumah besi yang dibuat oleh Sonic dan Rumah dari bunga raksasa yang dibuat oleh Ryoka. Ada juga Mai dan Nai yang rumahnya dari gelembung namun dipadu pelangi. Ada pula yang membuat rumahnya dari kapas yang tampak empuk.

Dan yang paling membuatku berkesan adalah rumah yang dibuat oleh Tazu. Rumahnya terbuat dari es bagaikan cermin hingga pantulan bulan membuatnya bersinar indah, menciptakan aurora pada langit malam itu.

Cantik, batinku sambil berjalan menuju atmosfer itu, aku tidak ingin sampai ada yang melihatku nekad masuk ke dalam sendirian.

Aku berhasil memasuki atmosfer itu dan artinya aku sedang berada didalam gravitasi. Aku harus mencari buku itu tepat sebelum orang lain mendapatkannya dan aku tidak boleh mengunakan kekuatanku. Aku makin melangkah masuk menjelajahi ke dalam hutan,

Lama kelamaan keadaan dalam hutan itu makin lebat saja. Cahaya bulan tak mampu menembusi tempat ini dan pohon-pohon yang mendominasi tempat ini. Kalau saja pohon beringin dengan tali yang ditumbuhi bunga putih yang bersinar bak dandelion, aku yakin hutan ini pasti sudah gelap gurita.

Aku melihat ke bawah, mencoba mencari keberadaan buku yang terjatuh tadi.

"Jatuh dimana tadi?" gumamku.

SREK SREK.

Aku berbalik ke belakang dengan penuh curiga, suara gesekan semak-semak yang janggal membuatku bertanya-tanya. Jangan-jangan ada yang mengikutiku? Ternyata hanya angin malam yang berlomba-lomba melewati seluruh celah yang ada hingga dinginnya mengigit kulit.

Kurasa aku tak boleh berpikiran buruk, batinku sambil melanjutkan jalanku.

Kupu-kupu terang, daun-daun yang bercahaya dan pantulan air danau yang tercetak di atas atmosfer serta Aurora yang bergelombang tajam ikut menyempurnakan kesan di dunia lain.

Tapi ini memang di dunia lain, kan?

*

Aku berjalan makin cepat ketika mendengar suara desiran daun semakin nyaring ditelinga. Tidak salah lagi! Pasti ada yang sedang mengikutiku! Aku tidak berani berbalik kebelakang... Bagaimana kalau ternyata itu penghuni Life River? Atau jangan-jangan...,

"Piya,"

Panggilan seolah memintaku yang sedang berlari untuk segera berhenti. Untuk sepersekian detik, aku dihadapi dua pilihan antara berbalik atau tetap berlari, namun karena yakin bahwa aku tidak asing dengan suara itu, aku pun memutuskan untuk berbalik dengan sedikit ragu, sebelum akhirnya aku menghela nafas lega.

The Sorcery : Little Magacal Piya [Telah Diterbitkan]Where stories live. Discover now