duapuluh tujuh; time capsule.

6.4K 482 11
                                    

Amanda menyeka keringat yang meluncur dari pelipisnya. Cuaca cerah hari ini--sangat cerah sehingga membuat Amanda kepanasan. Amanda sedang membenarkan tamannya yang berantakan. Bunga mawar yang tidak berkaruan, serta rumput liar yang tiba-tiba muncul.

Dengan perasaan gemas, Amanda mencabuti rumput liar itu dan mengguntingi bunga mawar yang tidak tertata rapi. Angin berhembus membuat rumah pohon reot berbunyi khas. Akhir-akhir ini rumah pohon itu selalu berbunyi. Amanda takut kalau rumah pohon itu akan roboh pada waktunya, mengingat umurnya yang belasan tahun.

Ponselnya bergetar, begitu melihat caller ID diponselnya, Amanda menghela napas. Devan. Teman semasa SMA dan teman sekantornya itu menelponnya pasti ada maunya saja. "Halo?"

"Halo, Man?"

"Ngapain lo nelpon gue?"

"Hehehe, biasa."

"Apa? Dev, gue lagi enak-enak libur. Mau ngurusin kafe gue dan segala macem yang keteteran gara-gara kerjaan kantor. Dan sekarang lo mau nambahin penderitaan gue? Tega ya lo, Dev."

"Please, Man. Sekali aja, ini yang terakhir. Lo harus gantiin gue buat meeting sama Pak Arief. Dan setelahnya, semua pekerjaan lo akan gue kerjain."

"Kali ini apa alasan lo?"

"Mau bikin surprise buat my calon istri tersayang,"

Amanda terkekeh mendengarnya, Devan sangat manis. Ia benar-benar menyayangi tunangannya itu, pasalnya, ia berusaha mati-matian untuk mendapatkan hati sang tunangan dulu.

"Lebay. Ini terakhir kalinya ya. Awas aja, kalau gue naik jabatan, mau minta bantuan ke siapa lagi lo?"

"Njeh, Ndoro. Halah, dasar jomblo. Makanya cari pacar biar bisa ngerasain alasan dibalik ke lebay-an gue ini."

"Bosen gue dengernya. Gara-gara sohib kunyuk lo itu tuh. Gue jadi trauma." Suara Amanda memelan.

Suara Devan melembut "Masih stuck sama yang di New York ceritanya?"

"Berisik ah. Syukur-syukur gue bantuin. Jam berapa meeting nya?"

"Jam 13:45. Man--"

"Oke sip, dah!"

Amanda memutuskan panggilannya, kemudian menghela napas. Stuck sama yang di New York? Ah, lebih baik, Amanda mengenyahkan pikirannya tentang itu dan buru-buru menyelesaikan tamannya lalu ia bisa langsung meeting.

Amanda kembali menarik rumput liar dengan susah payah. Sampai ia memutuskan untuk menggali tanahnya untuk mengambil akarnya supaya tidak tumbuh lagi. Baru setengah ia menggali. Sekop kecilnya mengenai sesuatu.

Amanda mengernyit, terus menggali sampai akhirnya ia menemukan sebuah kotak besi yang sudah kotor dimakan usia. Perempuan itu menyingkirkan poninya yang jatuh menutupi wajahnya.

Time capsule miliknya dan Dannis.

Amanda mendongak melihat rumah yang berada di samping rumahnya. Rumah yang tak berpenghuni.

Rumah Dannis.

Setelah Dannis pindah, tak lama kemudian, kedua orang tua Dannis memutuskan untuk membeli apartemen dan tinggal disana.

Semua jendela dan pintu tertutup rapat. Amanda bisa melihat bayang-bayang Dannis membaca komik dengan telinga disumpal headset di atas sana. Lalu, Amanda sadar, kalau semua itu hanya bayangannya saja.

Sudah bertahun-tahun semenjak kejadian itu. Sudah bertahun-tahun juga Amanda dan Dannis tidak pernah bertemu atau berkomunikasi.

Mereka hanya ... belum siap.

Perempuan itu membuka kotak besi itu dan menemukan dua kertas yang sudah berwarna kekuningan. Ia mengambil satu lipatan kertas itu dan membukanya.

Ternyata milik Amanda sendiri. Ia mulai membaca tulisan jeleknya. Disana tertera semua cita-cita Amanda. Mulai dari, dokter, pilot, model, desainer baju, penyanyi, guru, dan lain-lain. Semua, Amanda tulis. Hal itu membuat Amanda tertawa kecil.

Masa kecilnya dengan Dannis kembali terputar. Tanpa Amanda sadari, air matanya meluncur ke pipinya, menggantung, dan jatuh ke tanah. Amanda meletakkan kertas miliknya dan mulai mengambil kertas satu lagi.

Kertas milik Dannis.

Ketika ia membuka lipatannya dan membacanya. Amanda membeku dan bersandar di pohon rindang. Air mata mulai kembali menetes, sambil menggenggam erat kertas milik Dannis, Amanda bergumam "Kenapa disaat aku ingin melupakan mu, aku malah semakin mencintai mu?"

Di bertahun-tahun yang akan datang. Aku hanya ingin satu hal.

Terus bersama Amanda.

Dannis Devanda A.

*

"Kamu nanti mampir rumah lama, ya? Mama udah lama gak nengok rumah itu. Kamu, 'kan juga udah lama nggak ketemu sama Amanda."

Amanda?

Bagaimana kabar gadis itu?

Gadis yang sampai saat ini masih menghantui pikiran Dannis.

Saat ini, Dannis sedang berkunjung ke negara kelahirannya dan ada beberapa pekerjaan yang harus ia kerjakan disini. Dannis menyetir mobil pinjaman mobil dari orang tuanya.

Ia memasuki perumahan yang tampak tak asing lagi baginya. Tapi, yang membuat Dannis tertarik adalah kafe yang berada tak jauh dari rumah lama Dannis. Kafe itu berdiri tepat ditempat toko bunga Dannis dan Amanda dulu.

Dannis memutuskan untuk menghentikan mobilnya dan mampir ke kafe itu. Kafe itu termasuk ramai pengunjung. Banyak anak-anak SMA atau mahasiswa yang nongkrong disini.

Ternyata, selain kafe, toko bunga dulu berada didalam.

Apa ini kafe Amanda yang mamanya ceritakan itu? Kalau ya, dimana Amanda sekarang?

"Selamat siang, mau pesan apa?" ujar perempuan yang berdiri dibelakang kasir.

"Black coffee aja." balas Dannis "Jadi berapa?"

"Totalnya jadi 40 ribu. Atas nama siapa?"

"Dannis."

"Baik. Terima kasih, selamat datang kembali."

Dannis mengangguk kecil. Tadinya, ia berniat menanyakan siapa yang mempunyai kafe ini. Tapi, ia ragu. Jadi, sambil menunggu pesanannya jadi, Dannis memperhatikan foto-foto hiasan yang dipajang di dinding kafe.

Amanda.

Foto Amanda terpajang di antara foto-foto yang lainnya. Memang, benar. Amanda yang memilik kafe ini. Dimana ia sekarang?

Lamunan Dannis membuyar ketika namanya dipanggil. Ia langsung mengucapkan terima kasih dan keluar dari kafe itu.

"Mbak Amanda!"

Amanda yang baru saja memasuki kafenya dari pintu belakang mengerang, "Duh, Risya! Udah dibilang gak usah teriak-teriak." tegurnya kepada Sang kasir itu.

Risya nyengir "Hehehe, maaf mbak. Kebiasaan. Tadi ada cogan, mbak."

Amanda meletakkan barang-barangnya dan mulai membantu-bantu pegawainya. Mengabaikan Risya yang terus mengoceh tentang betapa tampan pelanggannya tadi.

"Serius loh, Mbak. Ganteng banget." ucap Risya "Kalau gak salah tadi, namanya ... emm, Dannis!"

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang