enam belas; run away.

6.7K 475 13
                                    

Hampa.

Semua terasa begitu hampa dan kosong bagi Dannis. Semua perjuangan dan perasaannya bagaikan sebuah lelucon baginya. Ia mendengus lalu berjalan ke wastafel dan mencuci wajahnya dengan air yang dingin khas pergunungan.

Apa seperti ini rasanya patah hati?

Dulu, patah hati adalah hal yang paling menggelikan bagi Dannis. Tapi, sekarang, ia tidak bisa menyangkal kalau patah hati lebih sakit dari lubang di gigi yang membuatmu tidak bisa tidur semalaman.

Kamarnya kosong sekarang. Devan sedang berada di aula berkumpul dengan yang lainnya. Dannis sedang tidak mood untuk itu. Ia hanya belum siap melihat Amanda lagi.

Ia sadar kalau ia harus cepat-cepat pindah darinya. Sekarang, yang ia pikirkan adalah caranya untuk pindah. Ia berbaring di ranjang dengan kedua tangannya dijadikan bantal dibelakang leher, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

Hanya ada suara dari televisi yang menyala. Serta angin malam yang masuk lewat jendela. Ini sudah hari ke dua setelah hari dimana rencana menyatakan perasaan kepada Amanda gagal.

Devan yang mendengarnya tidak berkomentar apa-apa. Ia hanya menepuk bahu Dannis mengerti. Dan ia juga sadar, bahwa Dannis butuh waktu sendiri, jadi, ia lebih sering ke aula daripada berada di kamar.

Bahkan kemarin malam ia tidak tidur, itu alasan kenapa kantung matanya terlihat mulai menghitam. Wajahnya lelah memancarkan kelelahan. Dan Dannis tahu, kalau malam ini, ia juga tidak akan bisa tidur. Padahal, ia lelah, sangat lelah. Ingin rasanya ia menutup matanya sejenak, membiarkan mimpi membawanya dan melupakan hal itu sebentar.

Tapi, otakknya seolah memaksanya untuk tetapi berpikir. Entah, berpikir apa. Yang jelas, semuanya begitu kosong bagi Dannis.

Jam terus berputar. Sekarang, jam menunjukkan pukul 23:45 dan Dannis masih menatap nyalang langit-langit kamar diatasnya.

Kosong.

Sama seperti jiwanya sekarang.

*

Matahari menampakkan diri dengan sempurna, membuat semua taman dan penginapan tersinari. Pagi yang cerah, berbeda sekali dengan suasana hati Dannis. Padahal ia berharap hari ini hujan deras.

Ia membuka pintu balkon. Beruntung memang, Dannis dan Devan, mendapatkan satu-satunya kamar yang terdapat balkon didalamnya. Dannis menyenderkan badannya di balkon. Sudah ramai dibawah sana.

Dannis, memperhatikan teman-temannya. Sampai matanya menangkap Amanda bersama Sean dengan kedua tangan menggenggam erat serta senyum yang terukir dimasing-masing wajahnya.

Pasangan yang bahagia.

Dannis mendengus lalu memalingkan wajah. Ia menemukan Ririn sedang membetulkan letak topinya dengan canggung. Karena, yang Dannis ketahui, orang-orang dibawah sana berjalan-jalan dengan pasangan masing-masing, tapi, Ririn sendiri.

Senyum Dannis akhirnya terukir. "Oi, tungguin gue dibawah," Dannis tersenyum geli.

Ririn mengedakan pandangannya, mencari siapa orang yang baru saja berbicara. Akhirnya, ia menemukan Dannis di atas, sedang bersandar di balkon. Ririn tersenyum lalu mengangguk.

Dengan cepat, Dannis mengganti bajunya, mencuci wajahnya, dan menyikat giginya. "Van, gue tinggal ya!" pamit Dannis yang hanya dibalas gumaman Devan karena laki-laki itu masih tidur nyenyak.

"Hai," Dannis menyapa. Sejak melihat Ririn lagi, ia menjadi semangat. Dannis mengedarkan pandangannya "Mau kabur gak? Di daerah ini ada taman bunga bagus,"

Belum sempat Ririn menyetujuinya, Dannis sudah menarik tangannya dan berlari menuju gerbang penginapan.

Ah, lagi-lagi Dannis melakukan hal itu.
Hal yang membuat harapan Ririn menjadi seolah-olah semakin nyata.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang