sepuluh;

7.1K 520 8
                                    

Amanda berjalan gontai menuju ruang guru untuk menemui wali kelasnya, ia ingin memberikan surat izin karena sakit milik Dannis yang dititipkan oleh Anna-ibu Dannis. Setelah ia menyerahkan surat itu kepada wali kelasnya, Amanda berjalan kembali ke kelasnya memikirkan Dannis. Ah, dia sangat keterlaluan. Bagaimana ia bisa lupa menghubungi Dannis setelah sampai di rumahnya?

Bahkan sampai sekarang Amanda belum meminta maaf dan menjenguknya. Amanda merubah pikirannya dan berbalik arah berjalan bukan ke kelasnya melainkan ke perpustakaan. Walaupun sudah bel tanda masuk kelas ia masih duduk di kursi perpustakaan. Biarkan ia berpikir sejenak.

Matanya menyapu seluruh isi perpustakaan sampai ia menemukan sebuah jaket berwarna biru dan hitam bermerk. Amanda mengambil jaket itu dari kursi, jaketnya basah. Amanda tau siapa pemilik jaket ini. Jaket Dannis.

"Maaf mbak, biar saya simpan jaket itu," Amanda menengok menemukan penjaga perpustakaan tengah tersenyum ramah kepadanya "Kayaknya itu punya mas-mas yang kemarin disini. Ketinggalan."

Amanda menaikkan alisnya "Mas-mas?"

"Iya mbak, kemarin ada cowok anak SMA ini juga, ketiduran disini sampai jam setengah sembilan malem. Gak tau nungguin apaan," jelas penjaga perpustakaan itu

Amanda menghela napas, ternyata benar Dannnis menunggunya di perpustakaan. "Saya kenal orangnya pak. Biar saya kasih ke orangnya."

"Oh, makasih ya, mbak."

*

"Dannis,"

Dannis menoleh mendapati seorang gadis yang ia kenal lama, ia tersenyum kecil, ia sudah menunggu saat-saat ini. Saat dimana Amanda datang menjenguknya. Awalnya Dannis bingung mengapa Amanda berdiri di depan pintu kamarnya tanpa reaksi.

"Hai?"

Tanpa diketahui Amanda menangis kencang, ia tak peduli dengan pandangan aneh Dannis, ia tidak peduli dengan wajahnya yang berubah menjadi jelek atau apalah, yang ia ingin hanya menangis untuk membuang semua rasa bersalah dan menyesal. Apalagi ketika melihat wajah lemas dan pucat Dannis

"Amanda, duh, jangan nangis dong. Gila aja kalau ada yang denger, dikira gue ngapa-ngapain lo," seru Dannis panik lalu turun dari ranjangnya dan menghampiri Amanda yang sudah terduduk sambil menangis tersendu-sendu.

Hati perempuan itu patah, melihat sahabatnya yang sakit (walaupun hanya demam) karena dia. Namun disatu sisi lainnya, hati Dannis juga patah melihat sahabatnya menangis tersendu-sendu karena dia. Dannis sangat tidak suka melihat perempuan menangis, ia sangat tidak suka melihat Amanda menangis.

"Hey, hey, lo kenapa?" tanya Dannis lembut, walaupun ia sudah tau jawabannya.

"Lo sakit gara-gara gue." Amanda menyeka air matanya, menahan isakannya, lalu menatap sepasang bola mata favoritnya. Bola mata yang selalu membuatnya nyaman, bola mata yang selalu menatapnya teduh, bola mata milik Dannis.

"Gue udah baikan kok. Besok bisa sekolah lagi. Lebay," hibur Dannis. Suara isakan masih terdengar dari mulut Amanda

"Maafin gue. Gue tau kalau gue bener-bener keterlaluan, gue-ah! gue selalu bikin lo khawatir, selalu bikin lo marah, selalu-. Maafin gue."

Dannis menatapnya penuh arti, berjongkok menatap Amanda lalu menggenggam tangannya "Please, jangan nangis. Jangan bikin gue malah merasa bersalah, merasa kalau gue bukan sahabat yang baik." kedua tangan cowok itu menangkup wajah Amanda dan menghapus air mata Amanda dengan kedua ibu jarinya.

"Lo sahabat yang baik, tapi gue bukan. Gue bukan sahabat yang baik Dan,"

Dannis menggeleng tidak setuju atas apa yang sahabatnya ucapkan. Dan memberikan tatapan 'lo-janji-gak-bakal-nangis-lagi' "Gue juga minta maaf. Gue selalu aja ngelarang lo untuk pergi sama Sean." cowok itu menghela napas melanjutkan omongannya "Gue cuma takut kalau lo kenapa-napa."

Dan gue takut kalau lo jatuh cinta sama Sean. lanjut Dannis dalam hatinya.

Amanda mengangguk "Gue ngerti." tangan Amanda mengusap-usap matanya lalu bibirnya ia majukan 5 cm. Membuat cowok di depannya tertawa keras

"Lo kayak bebek,"

Amanda kesal, ia berdiri menatap Dannis yang masih tertawa sampai berguling-guling "Nyebelin!" lalu perempuan itu pergi turun ke bawah

"Heh, lo mau kemana?" teriak Dannis dari kamarnya

"Minggat!"

Sepertinya Amanda baru saja terkena amnesia.

Dannis terkekeh pelan melihat tingkah sahabatnya tadi, ia tidur terlentang di karpet kamarnya memperhatikan langit-langit kamarnya.

Tangannya merogoh kantung celananya dan mengambil ponselnya, disana tersimpan foto dua perempuan dengan gaya candid, tertawa bebas. Tanpa ia sadari ujung bibir Dannis tertarik keatas sehingga membuat senyuman menawan

Dua perempuan yang berada di foto itu adalah Ririnasya Rinata atau kerap dipanggil Ririn dan Amanda Ariana sahabat dari kecil Dannis.

Perasaan cowok itu benar-benar membingungkan. Ia mempunyai perasaan yang sama terhadap dua gadis itu. Entah kapan dia baru menyadari itu. Bahkan Dannis pun tidak tau apa perasaan bisa dibagi dua sama rata?

***

"Nih, cotton candy untuk nonya besar," ujar Dannis sambil memberikan permen kapas berwarna merah muda itu kepada Ririn.

Ririn tersenyum senang. "Yeay, makasih, Dannis."

Mereka berdua melanjutkan jalan mereka. Hari sudah malam, Dannis mengajak Ririn untuk ke pasar malam. Suasana ramai yang berbeda ia temui di tempat ini. Mereka berjalan pelan memutari berbagai wahana di pasar malam ini. Ririn sibuk memakan cotton candy-nya.

Daritadi salah satu dari mereka belum ada yang berbicara duluan. Padahal Ririn sudah tau, jika Dannis mengajaknya ke suatu tempat pasti ia mau berbicara kepadanya, menanyakan pendapat atau sekedar mendengarkan curhatannya. Tapi, kali ini Dannis diam dan Ririn menunggu.

"Apa yang mau lo omongin?" tanya Ririn pada akhirnya

"Gue lagi gak mau ngomongin apa-apa." jawab Dannis. Tangannya mengacak rambut hitam legamnya. "Gue pengen seneng-seneng disini. Lo tau sendiri 'kan, pasar malem bukan untuk sedih-sedihan,"

Melihat Dannis tertawa pelan, Ririn jadi sedikit lega karena akhirnya ia melihat senyuman itu. "Ya. Yuk main"

Mereka berdua mengunjungi kios kecil tempat permainan. Cara bermainnya adalah kalian harus memasukkan gelang besar itu ke botol. Semakin jauh masuknya, semakin banyak hadiahnya. Dengan serius, Dannis mengincar botol paling jauh supaya mendapatkan hadiah, ia menerka-nerka cara supaya gelang itu bisa masuk ke botol.

Ririn yang berada di belakang Dannis tertawa ketika gelangnya tidak masuk. "Yah! cupu banget sih lo. Sok-sokan mau botol yang jauh lagi. Udah, yang deket-deket aja dulu. Tuh yang botol itu tuh," ujar Ririn sambil menunjuk botolnya

Dannis memutar matanya jengkel. Ia mulai melempar gelangnya dan masuk! mereka berdua bersorak senang. Bapak-bapak pengawas kios langsung menanyakan hadiah apa yang mau Dannis ambil,

"Boneka aja, pak. Yang warna cokelat." setelah mengucapkan terimakasih kepada bapak-bapak penjaga ia memberikan bonekanya kepada Ririn "Nih," ujar Dannis sambil menyondorkan boneka itu kepada Ririn.

"Gu-gue?" tanya Ririn memastikan

"Iyalah siapa lagi? tadinya tuh, gue pengen masukkin gelangnya ke botol paling jauh supaya dapet boneka yang besar. Kayak gitu, buat lo. Tapi, susah. Ini aja ya?"

Ini lebih dari cukup, Dan. Jawab Ririn di dalam hatinya. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba Dannis bersikap manis hari ini, yang jelas, Ririn sangat menyukai sifat Dannis saat ini.

"Thank's, Dan. Gue suka kok."

Tidak ada lagi kecanggungan diantara mereka. Mereka melanjutkan permainan mereka di wahana yang berbeda. Mulai dari bianglala sampai adu panco. Bahkan Ririn membawa pulang tiga boneka yang berbeda sekaligus.

Canda dan tawa tidak berhenti dari mulut mereka berdua dan seperti biasa Dannis merasakan perasaan aneh itu lagi ketika bersama Ririn. Perasaan aneh yang dulu pernah ia rasakan jika bersama sahabatnya, Amanda.

With YouWhere stories live. Discover now