Recommended: play "Sorai" by Nadin Amizah while reading.
The lyrics will carry you through the quiet ache of this ending — soft, but real.
Musim gugur di London tiba lebih cepat tahun itu.
Langit pucat dan udara dingin mulai menyusup lewat sela jendela apartemen kecil Giovanni. Di atas meja kayu, segelas teh melati masih mengepulkan uap, sementara setumpuk naskah kerja tertumpuk rapi di sisi kanan. Namun pandangan Giovanni tak tertuju pada apa pun di hadapannya. Ia hanya menatap amplop krem yang sudah mulai menguning di tepi meja — surat terakhir dari Gabriel.
Ia tak pernah punya keberanian untuk membukanya sebelumnya.
Bukan karena takut akan isi suratnya, tapi karena takut perasaannya sendiri belum benar-benar sembuh. Namun malam ini berbeda. Tak ada lagi suara yang ingin ia kalahkan, tak ada lagi luka yang ingin ia sembunyikan. Hanya keheningan, dan dirinya sendiri.
Perlahan, ia membuka amplop itu.
Tulisan tangan Gabriel masih sama: agak miring ke kiri, dengan tinta hitam yang sedikit luntur di beberapa bagian — mungkin karena air mata, mungkin karena hujan.
Gi,
Kalau kamu baca surat ini, berarti kamu udah jauh lebih tenang daripada waktu terakhir kali aku liat kamu pergi. Aku gak tahu harus mulai dari mana, karena setiap kalimat yang aku tulis terasa kayak nyentuh luka sendiri.
Aku tahu aku salah. Aku tahu aku diem waktu aku seharusnya jujur. Tapi kalau kamu nanya kenapa, jawabannya sederhana — aku pengin kamu bahagia, bahkan kalau kebahagiaan itu gak ada aku di dalamnya.
Kamu pernah bilang cinta gak cukup buat nyelametin hubungan. Sekarang aku paham. Tapi aku juga percaya, cinta yang benar gak akan mati. Dia cuma berubah bentuk. Jadi, kalau suatu hari kamu liat langit sore dan rasanya hangat di dada, mungkin itu sisa cinta aku yang masih nyapa kamu dari jauh.
Jaga diri baik-baik, Giovanni. Jangan terlalu keras sama dunia — atau sama dirimu sendiri.
Aku sayang kamu. Selalu, tapi gak lagi berharap.
— Gabriel
Giovanni menutup surat itu perlahan, matanya basah tapi tanpa isak.
Ada kelegaan aneh di dada — semacam perpisahan yang akhirnya utuh. Ia menatap jendela, ke arah langit London yang kini dipenuhi warna oranye pucat. Matahari mulai turun, menembus kabut tipis, dan entah mengapa, rasanya hangat.
Ia tersenyum kecil, lalu menatap amplop itu sekali lagi sebelum melipatnya rapi dan menyelipkannya ke dalam buku catatan di meja.
Bukan untuk disimpan sebagai kenangan yang menyakitkan, tapi sebagai bukti bahwa ia pernah mencintai dengan seluruh dirinya — dan pernah dicintai dengan cara yang tak kalah dalam, meski berakhir dalam sunyi.
Giovanni berdiri, mengenakan mantel cokelatnya, lalu berjalan keluar menuju balkon.
Angin sore menerpa wajahnya, membawa aroma teh dan daun kering. Ia menutup matanya, dan dalam benaknya, ia membayangkan benang merah yang dulu mengikat mereka. Kini benang itu telah terurai... tapi tidak hilang.
Ia hanya tersenyum dan berbisik,
"Thank you for the thread, Gabriel."
Dan saat langit berubah jingga keunguan,
akhirnya, untuk pertama kali dalam waktu yang lama—
Giovanni benar-benar merasa pulang.
— The End of the Thread. 🌙
ESTÁS LEYENDO
Red Strings
FanfictionMereka pernah saling memiliki-hingga keadaan memisahkan. Kini, Giovanni terpaksa kembali berhadapan dengan masa lalu yang belum sepenuhnya padam. Bukan karena rindu. Tapi karena situasi. Dan meski ia mencoba menolak, ada benang merah tak terlihat ya...
