Trust Was Never Part of the Contract.
Percakapan di grup "tanpa gio" terus bergulir meski Giovanni tak ada di sana. Sebuah ironi yang menyakitkan—grup diskusi pekerjaan, tanpa nama orang yang justru sedang terdampak langsung.
Melody membuka percakapan dengan cemooh halus,
"Wkwk jangan kayak anak kecil ya, Tere. Lo udah langgar peraturan tapi gaslight ke mana-mana."
Theresa menjawab enteng,
"Gue gak gaslight, kenyataannya aja ada kok mereka sayang-sayangan."
Komentar-komentar itu seperti bara yang dilempar ke percikan bensin. Saling tuding, saling sentil. Tapi yang paling menyayat adalah, nama Giovanni terus muncul—dijadikan dalih, kambing hitam, alasan kenapa semuanya berantakan.
Sampai akhirnya salah satu suara mengambil alih percakapan. Tegas. Damai, tapi dingin.
"Oke, cukup."
Gio—meski tak di grup—telah berbicara lewat jalur personal.
"Permasalahan ini jadi merembet ke mana-mana ya, sampe gue kebawa juga. Gini ya, Theresa. Gue lagi berusaha sebajak mungkin di sini karena gue tahu kejadian Miciela bawa lo juga karena insting dia sebagai dominant alpha women. Tapi gue menyayangkan sikap lo yang drag sana-sini. Biar gue jelasin sekarang."
Tak lama, pesan lain menyusul:
"Gue bakal ngobrol sama Gio. Keadaan dia lagi gak beres, dia lagi heat jadi gak bisa kontrol emosinya.
Gue gak akan berpihak ke siapa pun dan gue harap yang lain dinginin kepala. Besok pagi kita meeting di kantor jam 9."
Melody merespons, setuju dengan Gio—meski secara teknis ia juga menyindir.
Vito menegaskan: perjanjian no strings attached dan no relationship sudah jadi garis merah sejak awal.
Namun Theresa tetap bersikukuh dengan pernyataan yang menyulut bara lebih besar:
"Noted aja lah, walaupun Hanan sayang-sayangan sama Aaron."
Komentar itu membuat suasana meledak. Melody menyahut,
"Stop, Tere. Lo gak tahu apa yang terjadi."
Theresa membalas dengan getir,
"Iya emang gue mah kan gak pernah tahu apa-apa."
Dan saat malam menjelang, Giovanni akhirnya membuka suara—langsung di grup besar. Lelah. Luka. Dingin.
"Dari awal feeling gue tentang kerja sama ini udah gak beres, tapi kalian maksa dan gue kesampingkan rasa itu. Terus setelah gue acc permintaan kalian, gue juga yang disalahin atas ketidak-professional-an kalian? Gitu?"
Tidak ada menjawab.
Vito berusaha meredakan:
"Enggak, Gi. Bukan gitu. Kita belum tahu respons Noir & Co. Boleh gak kita adem dulu biar gak salah paham?"
Hanan ikut menenangkan,
"Gi, bener kata Vito. Istirahat dulu ya? Biar gue sama Vito yang urus ini."
Tapi Giovanni melanjutkan. Tekanan di dadanya tak bisa dibendung lagi:
"Gue kayaknya terlalu santai ya sama kalian? Jangan mentang-mentang ini kerja sama sama perusahaan Gabriel terus kalian seenaknya.
Poin-poin perjanjian udah disepakati. Tapi kalau hal kayak gini terjadi, yang rugi siapa? Kita. Mereka bisa tuntut ganti rugi."
Lalu, suara Theresa terdengar paling lantang:
"Tapi ini gue sama Mici dalam keadaan sober. Dan hal ini terjadi juga karena lo pingsan."
Dunia Giovanni seperti runtuh seketika. Ia membalas dengan getaran emosi yang sudah lama ia tahan:
"Oh, sober ya? Terus lo ngelakuin hal yang udah digarisbawahi dan dicetak merah?
Karena gue? Semua kesalahan yang lo dan Miciela perbuat itu dasarnya gue?
Gue gak minta lo dateng.
Gue gak minta diurusin sama lo semua."
YOU ARE READING
Red Strings
FanfictionMereka pernah saling memiliki-hingga keadaan memisahkan. Kini, Giovanni terpaksa kembali berhadapan dengan masa lalu yang belum sepenuhnya padam. Bukan karena rindu. Tapi karena situasi. Dan meski ia mencoba menolak, ada benang merah tak terlihat ya...
