CHAPTER 9: Where It Hurts Most

103 20 3
                                        

The Kind of Goodbye That Stays

Bau antiseptik masih lekat di udara saat Giovanni membuka matanya perlahan. Cahaya dari lampu putih di langit-langit menari-nari samar di balik pelupuk. Hanan berdiri di sisi ranjang, mata sembab dan kantung matanya menebal karena kelelahan.

"Gi," bisiknya, seolah takut suara keras akan melukai temannya yang baru sadar. "Lo denger gue?"

Giovanni mengangguk pelan. Kepalanya berat, tapi rasa asing itu bukan cuma karena benturan. Ia tahu ada yang lebih besar daripada sekadar luka di pelipisnya.

Seseorang masuk ke ruangan. Langkahnya hati-hati, nadanya tertahan. Giovanni tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.

Gabriel.

"Gi..."

Suara itu masih sama. Rendah. Ragu. Penuh luka. Tapi bagi Giovanni, itu terasa jauh. Terlalu jauh.

"Gue minta maaf," lanjut Gabriel, mendekat. "Gue telat datang. Gak tahu harus dari mana mulai..."

Giovanni menatap langit-langit. "Gue cuma butuh satu hal dari lo, Gab. Kejujuran. Tapi lo bahkan gak bisa kasih itu."

Gabriel ingin bicara, tapi Hanan menyela dengan lembut, memberi alasan untuk meninggalkan ruangan. Saat mereka berdua tinggal, hening terasa seperti dinding tebal yang membentengi.

"Gue capek, Gab," kata Giovanni akhirnya. "Capek nebak-nebak. Capek nunggu lo muncul setelah hilang."

Gabriel meremas jemarinya sendiri, mencoba berkata sesuatu. Tapi tak ada kalimat yang cukup untuk menjawab rasa hancur yang Giovanni simpan.

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Giovanni menjalani pemulihan di rumah orangtuanya, dengan kaki kiri yang masih diperban dan rutinitas yang serba dibantu. Hanan sesekali datang, tapi tidak sesering biasanya.

Yang paling konsisten hadir justru Gabriel. Tanpa banyak bicara, ia datang setiap pagi. Membawakan kopi favorit Giovanni. Sticky note kecil tertempel di termos dengan pesan-pesan remeh seperti, "Cuma lo yang bisa minum kopi sesweet ini."

Giovanni membaca, tersenyum... lalu menyobeknya.

Hari lain, Gabriel mengantar ayam kremes kegemaran Giovanni. Terselip kotak kecil berisi catatan tangan: "Ayamnya gak sekeren lo, tapi semoga cukup." Giovanni tetap makan, tapi bungkusnya ia buang sebelum orangtuanya melihat.

Namun yang paling menghantam bukan perlakuan Gabriel, melainkan kenyataan bahwa Grace mulai mengganggu. Giovanni tahu. Sesekali, saat mami-nya bicara lewat telepon, nama Grace disebut.

Dan entah kenapa, setiap nama itu muncul, Gabriel menghilang.

Minggu keempat setelah kecelakaan, Giovanni diminta menjalani kontrol akhir di Singapura. Mami dan papi-nya ikut mendampingi. Gabriel mengantar mereka ke bandara, dan sejak itu tidak ada kabar.

Sampai akhirnya, hari kedatangan mereka tiba. Gabriel muncul lebih awal di bandara, duduk di coffee shop dengan kopi dingin yang meleleh bersama detak gelisahnya. Ia mengenakan sweater hitam dan celana jins abu. Wajahnya lesu.

Begitu Giovanni muncul dari pintu kedatangan dengan kursi roda, hati Gabriel seolah tercekat. Tapi ia tetap tersenyum, menyapa hangat, dan dengan tenang berkata, "Aku rindu kamu."

Giovanni tidak menjawab. Mami-nya justru yang berbicara banyak.

"Gabriel nungguin kamu tiga jam, sayang. Jarang-jarang ada cowok rela nunggu segitu lama," godanya.

Red StringsWhere stories live. Discover now