When Silence Turned Into a Cry for Help
Hujan turun sejak sore, menghapus jejak langkah kota yang tak pernah benar-benar tenang. Giovanni duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel yang tak kunjung menyala. Sudah dua hari. Dua puluh empat jam kali dua. Tidak ada kabar. Tidak satu pesan pun. Tidak satu missed call. Bahkan tidak dari Hanan atau Sagara yang biasanya ikut panik kalau Gabriel mulai menghilang lagi.
Dan Giovanni... sudah terlalu lelah menunggu.
Ia mencoba untuk tetap waras, tetap fokus. Menyibukkan diri dengan buku, dengan pekerjaan rumah, bahkan dengan sekadar menata ulang rak pakaian yang sebenarnya tidak perlu disentuh. Tapi setiap kali ia berhenti bergerak, pikirannya kembali ke satu nama yang tidak bisa ia lupakan. Gabriel.
Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Nama yang muncul membuat dadanya seolah diremas.
Gabriel.
Bibir Giovanni gemetar saat membuka pesan yang baru masuk.
"Gi... kamu masih sayang aku gak sih? Aku... cape banget. Aku pengen tidur dan gak bangun lagi."
Pukul 02.18 dini hari.
Detik berikutnya, Giovanni menerima satu lagi pesan.
"Aku di apart. Sendiri. Gak usah balas juga gak apa-apa. Maaf udah ganggu kamu, Gi."
Lalu, sebuah titik lokasi menyusul. Lokasi apartemen Gabriel yang dulu pernah ia kunjungi. Tiga notifikasi, tiga detik, dan seluruh keberanian Giovanni ambruk. Panik menguasai tubuhnya.
Tanpa pikir panjang, ia bangkit, mengganti bajunya, dan mengambil kunci mobil. Tak sempat berpamitan pada orangtuanya, Giovanni hanya meninggalkan secarik sticky note di meja makan:
"Pergi sebentar. Jangan panik. Aku bawa ponsel."
Langkah kaki Giovanni tergesa begitu sampai di gedung apartemen, ia mencari orang yang bisa membawanya ke unit milik Gabriel.
"Gio?" suara yang tak asing untuknya menyapa pendengaran di kala tergesa. Giovanni menoleh dan mendapati Sagara berdiri tidak jauh.
"Bawa gue ke unit Gabriel." pinta Giovanni pada sahabat mantan kekasihnya.
Sagara memberikan kartu akses miliknya, "Gua ada urusan penting, lo pake aja dulu akses gua balikinnya gampang. Tumben lo kesini, ngapain?"
Dari pertanyaan yang muncul dari Sagara, Giovanni menyadari jika pria dihadapannya tidak tahu soal Gabriel yang sedang mabuk di unit apartemennya. Memilih tidak menjawab ia bergegas merebut kartu akses milik Sagara untuk naik menemui Gabriel.
Giovanni berdiri di depan pintu unit bernomor 237, dibalik pintu putih itu ada mantan kekasihnya yang pasti sedang meracau seperti kebiasaannya jika mabuk. Rasa ragu tiba-tiba saja menyeruak di hatinya. Ia mendadak takut untuk bertemu dengan Gabriel yang kesadarannya direnggut oleh alkohol. Namun setelah menimbang selama dua puluh menit menatap daun pintu akhirnya Giovanni memutuskan menekan bel. Ia sudah siap dengan segala hal yang akan terjadi ketika pintu itu terbuka.
Kali ketiga Giovanni menekan bel sampai akhirnya pintu itu terbuka, aroma alkohol langsung menusuk ke indera penciuman Giovanni begitu Gabriel muncul dibalik pintu. Pria yang biasa terlihat rapi dan memiliki aroma Scuderia Ferrari Light Essence kini terlihat menyedihkan.
"Gigi?"
Tatapan mata Gabriel yang semula sendu berubah karena terkejut. Ia masih diambang kesadaran akibat wine yang dikonsumsi sejak sore tadi. Tanpa kata Giovanni mendorong pintu yang hanya terbuka sedikit membuat Gabriel ikut melangkah mundur memberikan ruang agar kasihnya bisa melangkah masuk ke unitnya.
YOU ARE READING
Red Strings
FanfictionMereka pernah saling memiliki-hingga keadaan memisahkan. Kini, Giovanni terpaksa kembali berhadapan dengan masa lalu yang belum sepenuhnya padam. Bukan karena rindu. Tapi karena situasi. Dan meski ia mencoba menolak, ada benang merah tak terlihat ya...
