Sudah lebih dari dua tahun sejak Giovanni terakhir kali melihat Gabriel.
London memberinya jarak yang cukup jauh untuk bernapas, tapi tidak pernah cukup jauh untuk benar-benar melupakan. Setiap kali ia menatap cermin, refleksi dirinya selalu terlihat sedikit berbeda — lebih tenang, tapi juga lebih kosong. Ada bagian dari dirinya yang tertinggal di tempat lain, pada seseorang yang sudah lama ia tinggalkan tanpa niat untuk kembali.
Hari itu hujan tipis menyelimuti kota. Giovanni baru saja kembali ke rumah setelah rapat singkat dengan tim The Omegas cabang Eropa ketika ponselnya bergetar pelan. Nama yang muncul di layar membuat langkahnya berhenti.
Mama Gea.
Pesan itu singkat — hanya satu kalimat:
"Nak, kalau kamu ada waktu, Mama ingin bicara. Penting."
Ia menatap layar beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Mama Gea jarang menghubungi lebih dulu, apalagi setelah tahu ia memilih pergi tanpa kabar. Hatinya berdebar canggung, antara rindu dan takut pada apa yang akan ia dengar.
–––
Pertemuan itu berlangsung di sebuah kafe kecil di sudut Kensington. Tempatnya hangat, dengan aroma kayu manis dan teh chamomile. Giovanni datang lebih dulu, duduk di kursi dekat jendela sambil memperhatikan hujan yang menitik pelan di luar sana.
Tak lama, seorang wanita paruh baya datang dengan mantel abu-abu yang masih basah di ujungnya. Wajahnya sedikit menua, tapi matanya tetap sama — lembut dan penuh kasih seperti dulu.
"Mama Gea," ucap Giovanni pelan, berdiri untuk menyambut.
Mama Gea tersenyum, meski tatapannya menyimpan sesuatu. "Kamu kelihatan lebih dewasa sekarang, Gi. Tapi... juga lebih sedih."
Giovanni hanya tersenyum tipis. "Mungkin karena kedewasaan datang bersamaan dengan kehilangan."
Wanita itu terdiam sesaat. Ia menunduk, menggenggam cangkir teh di depannya sebelum akhirnya membuka percakapan yang sebenarnya.
"Mama gak mau mutar balik masa lalu, Gi. Tapi ada sesuatu yang kamu berhak tahu."
Giovanni menegakkan tubuhnya. Matanya menatap penuh waspada.
"Ini tentang Gabriella."
Udara di antara mereka seketika berubah. Giovanni nyaris tidak bergerak, hanya jantungnya yang berdetak pelan tapi keras di telinga sendiri.
"Gabriella?" ulangnya pelan, seolah memastikan ia tak salah dengar.
Mama Gea mengangguk, lalu menarik napas panjang sebelum berkata,
"Anak itu bukan sekadar keponakan Gabriel seperti yang dikira semua orang. Gabriella... adalah anaknya Grace."
Giovanni memejamkan mata. Nama itu — Grace — menampar kenangan yang selama ini ia coba kubur.
"Dan Gabriel?" tanyanya nyaris berbisik.
"Dia yang membesarkan anak itu. Sejak Grace melahirkan dalam keadaan sakit mental, Gabriel mengambil tanggung jawab penuh. Dia menyembunyikannya dari semua orang, termasuk kamu. Bukan karena dia tidak percaya, tapi karena dia takut kehilangan satu-satunya orang yang bikin hidupnya terasa ringan waktu itu."
Mama Gea menatap Giovanni dengan mata berkaca.
"Dia pikir dengan diam, dia bisa lindungi kamu dari kekacauan keluarga kami. Tapi diamnya justru menghancurkan segalanya."
Giovanni tidak langsung menjawab. Ia menatap ke luar jendela — hujan kini semakin deras. Butirannya memburamkan pandangan, seolah ikut menutupi luka lama yang tiba-tiba terbuka kembali.
"Sebenarnya," lanjut Mama Gea dengan suara bergetar, "Gabriel tahu kamu pergi ke London. Dia tahu kamu butuh waktu. Tapi dia gak pernah berhenti nulis surat buat kamu, Gi. Ratusan surat yang gak pernah dikirim. Semua masih Mama simpan."
Giovanni mengalihkan pandangan, bahunya tegang. "Untuk apa Mama bilang semua ini sekarang?"
"Karena dia gak pernah berhenti nyebut nama kamu. Bahkan setelah semua hal buruk yang terjadi."
Keheningan panjang jatuh di antara mereka. Giovanni menunduk, jarinya mengetuk pelan sisi cangkir yang mulai mendingin.
"Aku sudah belajar berdamai, Ma," ucapnya akhirnya. "Bukan dengan masa lalunya Gabriel, tapi dengan kenyataan bahwa ada hal-hal yang memang gak bisa diselamatkan."
Mama Gea menatapnya penuh iba. "Jadi kamu benar-benar gak akan kembali?"
Giovanni tersenyum kecil, lelah tapi tulus. "Aku sudah pernah mencintai dia sepenuh yang aku bisa. Tapi cinta yang baik... kadang harus tahu kapan berhenti menunggu."
Wanita itu menunduk, menahan air mata yang jatuh diam-diam. "Kamu masih Giovanni yang dulu, ya. Selalu tahu cara menyembuhkan luka orang lain, tapi lupa nyembuhin diri sendiri."
Giovanni hanya menatapnya dengan lembut. "Mungkin ini caraku sembuh, Ma. Dengan gak balik lagi."
Hujan di luar mulai reda. Langit London perlahan cerah, tapi di dalam dada Giovanni, perasaan itu masih samar — campuran antara rindu dan kelegaan.
Sebelum berpisah, Mama Gea menyodorkan amplop kecil berwarna krem. "Ini... surat terakhir yang dia tulis. Kamu gak harus baca sekarang. Tapi suatu hari nanti, kalau kamu siap, bacalah. Supaya kamu tahu bahwa meski benang itu putus, rasanya gak pernah benar-benar hilang."
Giovanni menerima amplop itu dengan tangan gemetar.
"Terima kasih, Ma."
–––
Sore itu, ia berjalan sendirian di sepanjang jembatan Waterloo. Angin membawa aroma sungai dan hujan, sama seperti pertama kali ia tiba di kota ini. Di tangannya, amplop dari Mama Gea masih utuh, belum terbuka.
Ia berhenti sejenak, menatap ke arah air yang memantulkan langit kelabu.
Dalam hati, Giovanni berbisik pelan — bukan doa, bukan harapan, hanya sebuah pengakuan yang tak lagi butuh jawaban.
"Aku sudah memaafkan, bahkan kalau kamu gak pernah tahu."
Lalu ia melangkah lagi, meninggalkan tepian jembatan, meninggalkan semua yang pernah menjadi rumah.
Dan untuk pertama kalinya, langkahnya terasa ringan.
The red string might have snapped — but it had done its purpose.
It led two souls to find themselves, even if not together.
YOU ARE READING
Red Strings
FanfictionMereka pernah saling memiliki-hingga keadaan memisahkan. Kini, Giovanni terpaksa kembali berhadapan dengan masa lalu yang belum sepenuhnya padam. Bukan karena rindu. Tapi karena situasi. Dan meski ia mencoba menolak, ada benang merah tak terlihat ya...
