"Dia adalah obsesinya..dan racun dalam dirinya."
Azylle Mercier tampak seperti siswi biasa berumur 18 tahun, tapi diam-diam ia bagian dari organisasi gelap Valken Cipher. Hazric Winston, detektif jenius sekaligus cinta masa kecilnya, kembali ke Indo...
Sinar matahari pagi menembus tirai kamar, menerpa lantai marmer dengan lembut. Azylle duduk di kursi rias, rambutnya masih sedikit berantakan dari tidur, wajahnya menatap cermin besar dengan ekspresi dingin. Di sebelahnya, seorang pelayan wanita bernama Celina menunggu dengan sabar, memegang buku catatan dan tablet yang berisi jadwal latihan hari ini.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
“Hari pertama, Nona Mercier,” kata Celina, suara lembut tapi tegas. “Kita akan mulai dengan sikap dasar: berdiri, duduk, dan berjalan dengan anggun. Setiap gerakan harus terlihat alami, tapi tetap sopan. Tidak ada kesalahan sekecil apapun.”
Azylle menarik napas panjang, menatap cermin.
“Alami, tapi sopan… ya, seperti putri keluarga kaya,” gumamnya sinis, bibirnya sedikit tersenyum miring. “Ini… menyebalkan.”
Celina menatapnya tanpa tersinggung.
“Aku mengerti, Nona. Tapi ini bagian dari rencana. Kita harus membuat semua orang, termasuk Hazric Winston nanti, percaya bahwa kau benar-benar putri Mercier.”
Azylle menelan ludah, matanya menyipit sejenak. Nama itu membuat dadanya berdebar, meski ia menolak mengakuinya.
“Hazric… tentu saja dia akan datang,” gumamnya pelan, suaranya campur antara kesal dan sedikit takut. “Dan aku harus terlihat… normal di depan matanya.”
Pelayan itu menepuk tangan perlahan, memberi isyarat agar latihan dimulai.
“Mulai dari posisi berdiri. Tumit rapat, punggung lurus, tangan di samping dengan ringan. Anggap ini latihan dasar seorang putri.”
Azylle berdiri, langkah kaku, matanya menatap lantai. Gerakannya terasa canggung, setiap langkah seperti mengingatkannya pada jarak antara dirinya yang asli dan citra yang harus ia tampilkan.
“Sedikit lebih anggun, Nona,” ujar Celina menambahkan koreksi. “Tidak terlalu kaku, jangan terlalu tegang. Rasakan tubuhmu bergerak, tapi tetap terkontrol.”
Azylle menatap cermin lagi, mencoba menyesuaikan gerakannya. Setiap langkah, setiap gerakan tangannya, terasa seperti aktor yang dipaksa berperan dalam sandiwara panjang. Jantungnya berdebar, bukan hanya karena latihan fisik, tapi karena tekanan emosional yang datang bersamaan: amarah, kebencian, rindu yang aneh, dan sedikit ketakutan menghadapi Hazric yang akan segera muncul di dunianya.
“Oke, sekarang duduk di kursi dengan anggun,” lanjut Celina. “Punggung lurus, tangan di pangkuan, ekspresi wajah tenang tapi hangat. Kau harus terlihat ramah tapi tetap ‘putri’.”
Azylle duduk perlahan, merasakan ketegangan setiap ototnya. Senyum yang muncul di wajahnya terasa dibuat-buat, tapi matanya tetap tajam, menahan badai emosi yang ingin keluar.
“Bagus,” puji Celina. “Sekarang kita lanjutkan ke latihan berjalan di aula. Anggap ini seperti tarian sederhana. Kau harus bisa berjalan di antara tamu, menatap sekeliling, tapi tetap menjaga citra.”