Bab 5

144 28 3
                                        

Hujan tipis masih menempel di jendela kafe kecil itu, menimbulkan tirai butiran air yang memantulkan lampu jalanan. Aroma kopi yang baru digiling memenuhi ruang hangat, bercampur dengan aroma roti panggang dan kayu dari meja-meja berlapis kaca. Di sudut paling tenang, Hazric Winston duduk dengan punggung lurus, mantel hitam tergantung rapi di kursi sampingnya. Depan matanya, secangkir espresso panas mengepul perlahan, namun ia tidak menyentuhnya.

Di seberang meja, Wilhelm duduk santai, tangan mengepal di atas meja, mata tajam menatap Hazric

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di seberang meja, Wilhelm duduk santai, tangan mengepal di atas meja, mata tajam menatap Hazric. Wilhelm bukan sekadar asisten — dia teman yang memahami setiap detail strategi Hazric, termasuk masa lalunya yang rumit dan rahasia asmara yang nyaris tak pernah disentuh oleh orang lain.

“Jadi, Tuan benar-benar ingin memulangkan diri ke Indonesia… tanpa alasan profesional?” Wilhelm memulai, suara tenang tapi penuh rasa ingin tahu.

Hazric menghela napas panjang, menatap kopi di depannya tanpa menyesap.

“Ya. Tidak ada kasus, tidak ada kriminal, tidak ada pekerjaan. Hanya… sesuatu dari masa lalu. Sesuatu yang belum selesai.”

Wilhelm mengangguk perlahan, paham bahwa nada suara Hazric bukan sekadar lirih, tapi penuh ketegangan.

“Dan itu melibatkan Azylle, kan?”

Hazric menatap jendela sejenak, melihat siluet orang-orang berpayung melewati jalanan basah di luar.

“Dia akan ada di sana. Aku tahu itu. Dan aku… harus memastikan semuanya berjalan dengan rapi. Tanpa kejadian, tanpa kecurigaan. Aku butuh dia datang ke arah yang aku bisa kontrol.”

“Control… selayaknya operasi detektif,” komentar Wilhelm, tersenyum tipis. “Kau nggak bisa lepas dari cara berpikirmu.”

Hazric menoleh, setengah tersenyum tipis.

“Ini berbeda. Bukan sekadar kasus. Ini… Azylle.”
Ia menekankan kata terakhir itu dengan nada rendah, tapi penuh arti.

Wilhelm mencondongkan tubuh, sikapnya lebih serius.

“Oke… jadi rencanamu apa? Bagaimana kau mau memposisikan diri?”

Hazric mengangkat secangkir espresso, menghirup aroma panasnya perlahan tanpa meneguk, sebelum meletakkannya lagi.

“Aku ingin membuat kepulanganku terlihat alami. Acara penyambutan, pertemuan formal dengan keluarga besar dan beberapa konglomerat… semua itu akan jadi alasan yang pas agar aku bisa melihatnya. Tapi aku juga tidak ingin dia sadar bahwa aku sengaja membuat semua ini.”

“Jadi kau ingin membuat ‘kebetulan’ yang sangat disengaja,” kata Wilhelm sambil tersenyum tipis. “Seperti biasa. Dan aku… akan jadi tangan kananmu, ya?”

Hazric menatap Wilhelm lama, menilai tatapan matanya, lalu mengangguk.

“Ya. Aku butuh kau mengawasi semua detail kecil. Undangan, daftar tamu, waktu kedatangan… aku tidak bisa membiarkan satu langkah pun salah. Aku… tidak bisa gagal lagi.”

Strings of DeceptionWhere stories live. Discover now