Bab 1

185 24 1
                                        

Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angin menerpa jendela kamar, membawa aroma hujan yang tertahan di luar sana. Di atas ranjang yang dipenuhi buku, kertas, dan laptop yang masih menyala, Azylle bergelung di balik selimut tebal, matanya fokus pada lembar tugas kuliah yang belum rampung. Hanya cahaya layar yang menerangi wajahnya, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar.

Namun ketenangan itu terpecah seketika ketika suara dering dari ponsel hitam di sudut meja memecah keheningan malam. Bukan ponsel biasa — itu telepon khusus untuk “pekerjaannya.” Nada deringnya nyaring, monoton, dan dingin… membuat jantung Azylle berdegup sedikit lebih cepat.

Azylle menatap ponsel hitam itu beberapa detik sebelum akhirnya mengulurkan tangan. Jemarinya sempat ragu di udara, tapi rasa penasaran dan dorongan yang familiar segera mengambil alih. Ia menggenggam ponsel itu, dingin logamnya menembus kulit telapak tangannya.

Dering berhenti tepat saat ia menekan tombol hijau.

Hening sejenak—lalu suara berat dan teratur terdengar dari seberang, seperti berasal dari ruang gelap tanpa pantulan suara.

Noctis-07. Koneksi aman.

Azylle menelan ludah, menegakkan punggungnya. Hatinya berdebar cepat, bukan karena takut, tapi karena sensasi itu lagi—campuran antara gugup dan antusias, rasa aneh yang selalu muncul tiap kali ia dipanggil oleh Valken Cipher.

“Saya di sini,” jawabnya pelan namun tegas.

Suara itu melanjutkan, datar tapi sarat wibawa.

Tugas baru. Operasi Silhouette Protocol. Lokasi: London. Target utama—Helios Dynamics. Perusahaan keamanan data yang sedang mengembangkan sistem AstraNet. Kami tak bisa membiarkan sistem itu aktif.

Azylle menatap layar laptopnya yang masih menampilkan dokumen tugas kuliah. Kata-kata yang baru ia dengar terasa jauh lebih nyata daripada semua hal di sekitarnya.

Kau akan masuk dengan identitas baru, Lyn Avelle, mahasiswa pertukaran dari Prancis. Tujuan utamamu: akses ke lab riset dan salin algoritma AstraNet. Data dikirim dalam 72 jam, sebelum mereka mengganti enkripsi.

Suara itu berhenti sejenak, seolah memberi waktu agar instruksi tertanam kuat di pikirannya.

Kau sudah tahu prosedur standar. Tidak ada kesalahan, tidak ada emosi, tidak ada jejak.”

Azylle menggigit bibir bawahnya, menahan napas pendek. Ia sudah terbiasa dengan nada perintah seperti itu, tapi kali ini, entah kenapa, sensasinya berbeda—lebih berat, lebih nyata. London. Dunia luar. Misi besar.

“Dipahami,” ujarnya datar, walau di dadanya, detak jantungnya berirama tak teratur.

“Kapan keberangkatan saya?”

Tiket dan paspor sudah disiapkan. Kode akses dikirim melalui jalur aman setelah panggilan ini. Kau berangkat dalam 48 jam.

Sambungan tiba-tiba terputus, meninggalkan dengung halus di telinganya.

Azylle menurunkan ponsel perlahan, memandang layar yang kini gelap. Dalam pantulan tipis di permukaannya, ia melihat matanya sendiri—tenang, tapi menyimpan percikan yang berbahaya.
Rasa takut, ragu, dan adrenalin bercampur menjadi satu.

Ia menatap tumpukan kertas kuliahnya yang berantakan, lalu menutup laptopnya tanpa suara. Semua kesibukan tadi malam mendadak terasa tidak penting.

Azylle bersandar di sandaran tempat tidurnya, menatap langit malam yang tertutup tirai hujan di luar jendela. Bibirnya terangkat samar, hampir seperti senyum—bukan karena senang, tapi karena tubuhnya mengenali sensasi itu.

Strings of DeceptionWhere stories live. Discover now