Bab 4

139 22 1
                                        

Ruang kerja David Mercier dipenuhi aroma tajam kopi hitam yang belum disentuh sejak setengah jam lalu. Uapnya telah hilang, meninggalkan cangkir berjejak di atas tumpukan berkas laporan keuangan yang berantakan. Tirai tinggi berwarna maroon menutup rapat jendela kaca besar yang menghadap ke langit Jakarta yang muram sore itu, hanya menyisakan celah kecil bagi cahaya redup menembus ruangan.

Di balik meja besar dari kayu mahoni, seorang pria paruh baya duduk membungkuk, jemarinya mencengkeram sisi meja dengan kuat. Wajahnya — yang biasanya selalu tenang, berwibawa, dan nyaris tanpa ekspresi — kini tampak berantakan. Garis tegas di rahangnya mengeras, dan mata tajamnya yang berwarna abu-abu pucat menyala dengan kemarahan yang ditahan.

“Kau bilang siapa yang mengirim undangan itu?”
Suara David rendah, nyaris seperti geraman.

Asistennya yang berdiri di dekat pintu tampak gugup, tangannya gemetar memegang tablet berisi surel yang baru diteruskan dari sekretariat keluarga Winston.

“T–Tuan Hazric Winston, sir. Undangan resmi dari pihaknya baru masuk siang ini… untuk acara penyambutan kepulangan beliau. Dan…”

“Dan apa?” potong David cepat.

Asistennya menelan ludah sebelum melanjutkan, suaranya nyaris bergetar.

“Acara itu… akan dihadiri beberapa keluarga besar. Termasuk… nama Bapak sendiri ada di daftar prioritas tamu.”

David menghempaskan berkas di tangannya hingga kertas-kertas itu berhamburan di lantai. Suara benturannya memantul di ruangan yang hening, membuat sang asisten refleks mundur selangkah.

“Sial!”
Ia bangkit berdiri, kursinya terdorong mundur dengan keras. “Kenapa aku baru tahu sekarang? Kenapa bukan sebelum undangan itu dikirim secara resmi?!”

Urat di pelipisnya menegang. Ia berjalan mondar-mandir, sepatu kulitnya menimbulkan bunyi berat di atas lantai marmer. Napasnya memburu, seperti menahan badai yang hampir meledak dari dadanya.

“Sembilan tahun,” gumamnya lirih namun tajam. “Sembilan tahun tanpa satu kabar pun dari keluarga Winston, dan tiba-tiba dia pulang? Dengan undangan resmi? Tanpa peringatan sedikit pun?”

Ia berhenti di depan jendela, menatap bayangan dirinya di kaca yang buram. Ada sesuatu di sorot matanya—campuran antara kekhawatiran dan kebencian lama yang belum padam.

“Dia pasti tahu sesuatu…” katanya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Hazric Winston tidak akan muncul tanpa alasan. Tidak setelah apa yang terjadi dulu.”

Asistennya mencoba berbicara, tapi suaranya tertahan di tenggorokan ketika tatapan David menoleh tajam.

“Keluar. Siapkan semua laporan terakhir dari divisi Avalon Group.”

“Tentu, Sir,” jawab asistennya cepat, sebelum menunduk dan keluar tergesa dari ruangan.

Pintu tertutup perlahan, menyisakan keheningan. David menatap meja kerjanya yang berantakan, lalu meraih foto tua di pojok meja — foto dirinya bersama seorang gadis kecil berambut hitam dengan senyum cerah.

Tangannya bergetar halus saat menyentuh bingkai itu.

“Azylle…” bisiknya pelan. “Jangan sampai dia bertemu lebih dulu… jangan sampai dia bertemu dia dengan cara yang salah.”

Ia menghembuskan napas berat, lalu menatap kosong ke arah jendela. Dari kejauhan, suara hujan mulai turun, menambah suram suasana sore itu.

David Mercier bukan pria yang mudah goyah. Tapi kali ini, bayangan masa lalu yang selama ini ia kubur dalam-dalam mulai menyeruak kembali — dan semuanya berawal dari satu nama yang kembali dari kejauhan:
Hazric Winston.

Strings of DeceptionWhere stories live. Discover now