Penerbangan dari London mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta. Lampu-lampu landasan yang terang menembus kabut malam, menciptakan siluet pesawat yang perlahan berhenti di parkiran. Azylle menatap jendela pesawat sebentar, menarik napas panjang, merasakan udara lembap tropis yang menyapa wajahnya.
Begitu keluar, ia langsung disambut oleh dua agen Valken Cipher yang siap sedia. Salah satunya, wanita bertubuh ramping dan wajah tanpa ekspresi bernama Lyra, menunduk hormat. Agen pria lain, berpenampilan lebih tegas, memegang koper dan dokumen perjalanan palsu.
“Selamat datang kembali, Nona Mercier,” ujar Lyra singkat. “Semua dokumen sudah sesuai. Tak perlu khawatir soal identitas dan perjalanan malam ini.”
Azylle mengangguk tanpa kata, matanya tetap menatap sekeliling bandara. Ia merasakan campuran lega, gelisah, dan sedikit amarah yang belum hilang.
“Baiklah. Bawa aku ke rumah. Aku harus segera bertemu ayah,” katanya dingin.
Perjalanan menuju kediaman Mercier di kawasan Jakarta Selatan ditempuh dalam mobil hitam yang sunyi. Agen Valken Cipher duduk di belakang, tetap waspada. Azylle duduk menatap kaca, menghela napas panjang. Setiap jalan yang dilalui seolah mengingatkannya pada kehidupan yang selama ini harus ia sembunyikan — kehidupan ganda antara siswi biasa dan kaki tangan organisasi gelap.
Sesampainya di rumah, David Mercier menunggu di ruang tamu, berdiri di samping jendela dengan tangan disilangkan di dada. Wajahnya tegas, tatapannya menusuk, seperti menakar setiap gerakan putrinya.
“Azylle,” sapanya dingin, tidak menyapa hangat seperti biasanya. “Bagaimana London?”
Azylle mengeluarkan map hitam yang berisi laporan misi Silhouette Protocol.
“Tugas selesai, Ayah. Semua berjalan lancar. Target tercapai, tidak ada jejak yang tertinggal—”
“Hentikan,” potong David tegas, matanya menatap lurus ke arah putrinya. “Aku tidak peduli dengan laporan itu sekarang. Itu urusan pekerjaanmu. Sekarang, yang penting adalah bagaimana kau akan tampil di depan orang lain. Kau harus terlihat normal. Sebagai mahasiswi biasa, sekaligus putri Mercier.”
Azylle menatap ayahnya, sedikit terkejut tapi cepat menahan rasa kecewa.
“Aku… harus pura-pura?” gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
“Benar,” jawab David tegas. “Setiap gerakanmu, setiap kata yang kau ucapkan, setiap senyum yang kau berikan… semuanya harus alami. Tidak ada yang boleh mencurigai. Termasuk Hazric Winston.”
Suaranya menajam, menekankan nama itu seperti peringatan terselubung.
Azylle menelan ludah, matanya menatap map di tangannya. Rasanya aneh — lega karena misi berhasil, tapi sekaligus tercekik oleh tekanan untuk berakting lagi.
“Baik, Ayah,” jawabnya akhirnya, nada datar. “Aku akan lakukan.”
David mengangguk, wajahnya tetap dingin, tapi matanya menatap putrinya dengan tajam, seolah menilai setiap potongan ekspresi yang muncul.
“Mulai sekarang, kau hanyalah Azylle Mercier. Siswi, putri keluarga, anak yang patuh. Tidak ada Valken Cipher, tidak ada tugas rahasia. Kau harus menguasai itu. Segera.”
Azylle menatap ke arah jendela, melihat kota Jakarta yang gemerlap di malam hari. Dalam hatinya, ada gelombang emosi campur aduk: marah, kecewa, tapi juga sedikit lega karena kembali berada di tanah air. Ia menelan semuanya, menekan perasaan itu agar tidak terlihat.
“Mengerti,” gumamnya pelan, sambil menarik napas panjang dan menyiapkan diri untuk akting yang akan menentukan jalannya pertemuannya dengan Hazric nanti.
YOU ARE READING
Strings of Deception
Teen Fiction"Dia adalah obsesinya..dan racun dalam dirinya." Azylle Mercier tampak seperti siswi biasa berumur 18 tahun, tapi diam-diam ia bagian dari organisasi gelap Valken Cipher. Hazric Winston, detektif jenius sekaligus cinta masa kecilnya, kembali ke Indo...
