"Dia adalah obsesinya..dan racun dalam dirinya."
Azylle Mercier tampak seperti siswi biasa berumur 18 tahun, tapi diam-diam ia bagian dari organisasi gelap Valken Cipher. Hazric Winston, detektif jenius sekaligus cinta masa kecilnya, kembali ke Indo...
David Mercier mengusap wajahnya kasar dengan telapak tangan, seolah mencoba menyingkirkan sisa-sisa stres yang menumpuk dari kabar Hazric Winston dan kepulangan putrinya. Ruang kerjanya, yang luas dan berlapis kaca menghadap kota Jakarta, terasa semakin berat oleh ketegangan yang menggelayut di udara.
Di sampingnya, asistennya dan dua agen Valken Cipher yang memantau Azylle menunggu dengan rapi, tablet dan laptop masing-masing siap menampilkan laporan secara real-time. David menatap mereka tajam, lalu berkata dengan suara berat dan tegas:
“Segera laporkan semua detail penyelesaian Silhouette Protocol di London ke kantorku. Aku ingin setiap langkah, setiap hasil, dicatat lengkap. Tidak ada yang terlewatkan.”
Salah satu agen menunduk hormat, menekan beberapa tombol di tablet, lalu menjawab cepat:
“Siap, Sir. Semua data akan dikirimkan secara real-time, termasuk bukti-bukti eksekusi misi dan laporan target. Nona Mercier sudah menyelesaikan misi dengan sempurna.”
David mengangguk, lalu menoleh ke arah Azylle, matanya menembus, seakan membaca setiap emosi yang mencoba ia sembunyikan.
“Azylle,” katanya tegas, suaranya seperti cambuk di udara. “Ikuti pelayan. Semua yang kau butuhkan untuk bertransformasi menjadi putri Mercier sudah disiapkan. Penampilan, tutur kata, sikap… semua harus alami. Tidak ada ruang untuk kesalahan.”
Azylle menatapnya, ekspresinya dingin namun matanya sedikit bersinar, menahan gejolak emosi yang bercampur antara marah, kecewa, dan sedikit lega. Ia mengangguk pelan.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
“Baik, Ayah,” gumamnya singkat, menahan nada sarkasme yang hampir terucap.
David menepuk meja perlahan, menegaskan otoritasnya.
“Ini bukan saran. Ini perintah. Kau bukan lagi kaki tangan Valken Cipher saat berada di sini. Kau putri Mercier. Jangan lupakan itu.”
Dari sisi ruang tamu, seorang pelayan muda masuk, membawa tablet yang menampilkan jadwal transformasi Azylle: perawatan, pakaian, dan persiapan setiap detil untuk membuatnya tampak seperti mahasiswi biasa sekaligus putri keluarga.
“Azylle, ikut aku. Semua sudah siap,” kata pelayan itu lembut tapi tegas, menunjukkan jalan menuju ruangan persiapan.
Azylle menatap ayahnya satu kali lagi, menelan napas panjang, lalu berjalan mengikuti pelayan itu. Setiap langkahnya berat, bukan karena lelah, tetapi karena beban akting yang harus ia jalani—menekan perasaan marah, kecewa, dan rindu yang belum ia urai selama bertahun-tahun.
David menatap punggung putrinya dengan mata tajam, menekankan dalam hati: semua harus terkendali. Hazric Winston boleh pulang, tapi ia memastikan tak ada satu pun yang boleh mengganggu citra putrinya sebagai “Azylle Mercier” di depan dunia.
Di sudut ruangan, tablet agen Valken Cipher menampilkan laporan London yang sedang mengalir. Suara ketikan, grafik, dan notifikasi seakan menjadi detak nadi yang menegaskan: rencana David sedang berjalan, dan Azylle kini berada di jalur yang sudah ia tetapkan — menjadi putri Mercier, sementara masa lalu dan rahasia Valken Cipher tetap tersembunyi.
Azylle mengikuti langkah pelayan dengan cepat, sepatu hitamnya nyaris tidak bersuara di lantai marmer rumah Mercier yang luas. Di sepanjang lorong, para asisten bergerak sibuk—menyapu, menata bunga, mengecek jadwal perawatan dan agenda harian. Semua tampak teratur, rapi, seperti mesin yang berjalan sempurna.
“Silakan masuk, Nona. Kamar Anda sudah siap,” kata pelayan yang menuntunnya, suara lembut tapi tegas.
Azylle membuka pintu kamar dengan perlahan, dan seketika langkahnya terhenti. Pandangan matanya menyapu ruangan yang luas, bernuansa merah muda dengan tirai satin, lampu gantung kristal yang berkilau, dan tempat tidur besar berselimutkan kain halus. Aroma wangi bunga dan parfum lembut terasa menguar, membuat udara terasa manis dan… terlalu feminin.
“Ini… kamar?” gumamnya, hampir tak percaya. “Dulu… aku nggak pernah tidur di sini dua tahun terakhir.”
“Betul, Nona,” sahut pelayan sambil tersenyum tipis. “Kami sudah menyiapkan semuanya. Semua barang pribadi Anda di apartemen tetap aman, tapi sementara ini, kamar ini akan menjadi markas Anda sebagai putri Mercier.”
Azylle menatap sekeliling, matanya mengikuti deretan meja rias lengkap dengan kosmetik, rak buku sastra klasik, bahkan meja piano yang menunggu disentuh jari-jari lembut seorang putri keluarga kaya. Semuanya terasa begitu… asing.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
“Dan jadwal Anda,” lanjut pelayan, menyerahkan tablet. “Jam enam pagi, perawatan kulit; pukul delapan, les biola; sepuluh pagi, etika dan sikap; siang, menjahit dan tata busana; sore, dansa dan protokol sosial. Semua sudah dijadwal dengan rinci, termasuk istirahat dan makan.”
Azylle menatap tablet itu, kemudian menatap pelayan dengan wajah datar.
“Dansa… menjahit… les biola… serius?” katanya pelan, nada suara mengandung sinis tipis. “Aku… tidak pernah melakukan hal-hal ini.”
“Kami mengerti, Nona. Itu sebabnya kami akan membimbing Anda. Semua ini untuk memastikan citra Anda sebagai putri Mercier sempurna. Jangan khawatir, Anda akan terbiasa,” kata pelayan dengan nada menenangkan.
Azylle menghela napas panjang, menatap jendela kamar yang menghadap taman luas. Pemandangan hijau dan kolam kecil itu mengingatkannya pada kebebasan yang selama ini ia miliki—apartemen kecil di London, ruang kerja rahasia, dunia gelap Valken Cipher yang memberinya kendali penuh. Kini semua itu tampak jauh, seakan memudar di balik dinding-dinding mewah ini.
"Aku… harus melakukannya,” gumamnya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar. “Berakting… menjadi seseorang yang aku bukan.”
Pelayan menunduk hormat, menutup pintu perlahan setelah memastikan Azylle memahami aturan dasar di kamar itu. Di luar, suara asisten dan langkah kaki mereka terus bergema, menandai hari-hari yang akan segera penuh dengan rutinitas mewah, sopan, dan… menekan identitas asli Azylle.
Azylle menatap kasurnya yang lembut, mewah, dan serba merah muda itu. Hatinya penuh campuran: marah karena harus meninggalkan kebebasan dan rahasia hidupnya, kecewa karena harus pura-pura, tapi ada secercah lega karena akhirnya berada di rumah ayahnya, tanah kelahirannya.
“Baiklah,” gumamnya sambil menelan napas panjang, “kalau Ayah mau aku menjadi putri Mercier, berarti aku harus jadi putri Mercier. Sementara… dunia gelap ini… tetap akan menunggu.”