Wilhelm mencondongkan tubuh ke depan, menepuk meja perlahan.
“Hazric… ini soal masa lalu. Rencana terbaikmu bisa jadi kacau kalau emosimu ikut campur. Kau tahu itu, kan?”
Hazric menutup matanya sebentar, menarik napas dalam.
“Aku tahu. Tapi… aku tidak punya pilihan. Aku harus melakukan ini dengan sempurna. Untuk Azylle. Untuk diri sendiri. Untuk masa lalu yang belum pernah aku selesaikan.”
Suasana kafe tetap hangat, tapi di meja kecil itu, udara terasa tegang. Dua orang pria itu duduk berhadap-hadapan, satu memegang strategi, yang lain menjadi eksekutor rencana yang mungkin akan mengubah masa depan mereka berdua.
“Oke,” Wilhelm akhirnya berkata. “Kau beri aku skema. Aku akan pastikan jalannya sama persis seperti yang kau mau. Dan… kalau dia muncul, kita sudah siap."
Hazric menatap Wilhelm dengan tatapan tegas, setengah tersenyum.
“Bagus. Ini akan jadi permainan yang rumit, tapi… aku akan melihatnya lagi. Setelah sembilan tahun.”
Kafe itu masih hangat, tapi udara di sekitar meja Hazric terasa tegang. Cahaya lampu menggantung rendah, menyoroti wajah keduanya dengan bayangan yang bergerak perlahan. Hazric duduk membungkuk, kedua tangan mengepal di atas dahi, jari-jarinya menekan pelan sambil matanya menatap kosong ke permukaan meja.
Di depannya, Wilhelm duduk tenang, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa pikirannya tengah bekerja cepat. Ia tahu, Hazric sedang berada di titik kritis — titik di mana strategi dan perasaan pribadi mulai saling bertabrakan.
Beberapa detik berlalu dalam diam. Hanya terdengar suara pelan kopi yang diaduk dan gelegar hujan tipis di luar jendela.
Akhirnya, Hazric menarik napas panjang, menurunkan tangannya, dan mengangkat wajahnya. Matanya menatap lurus ke Wilhelm, tatapannya tajam, penuh tekad, tapi juga menyimpan sedikit getaran yang jarang terlihat orang lain.
“Aku ingin rencana yang membuat dia… segera bisa kembali padaku lagi.”
Kata-katanya keluar pelan, tapi setiap suku kata terasa berat, penuh urgensi dan kerinduan yang lama tertahan.
Wilhelm menatap Hazric lama, kemudian menggeleng cepat. Nada suaranya lembut tapi tegas.
“Hazric… kau sadar ini mustahil, kan? Dia sudah nyaris satu dekade ditinggalkan olehmu. Beranjak dewasa, hidupnya sekarang berbeda. Tidak mungkin kau bisa mengatur semuanya agar dia ‘kembali’ padamu begitu saja.”
Hazric menunduk sebentar, menggigit bibir bawahnya.
“Aku tahu... tapi aku tidak peduli. Ini bukan soal kemungkinan. Ini soal aku melihatnya lagi, memahami apa yang hilang... dan memastikan dia tetap aman di sisiku, tanpa dia sadar kalau aku sudah menunggu begitu lama.”
Wilhelm menghela napas, menepuk meja perlahan.
“Hazric… ini bukan sekadar strategi detektif atau permainan intelijen. Ini tentang masa lalu, perasaan, dan apa yang seharusnya kau tinggalkan sembilan tahun lalu. Kau yakin kau siap menanggung risiko itu?”
Hazric menatap Wilhelm dengan tatapan datar, tapi matanya berkilat.
“Aku tidak punya pilihan, Wilhelm. Semua perhitungan, semua taktik, semua kebetulan yang bisa tercipta… aku akan susun sedetail mungkin. Aku akan menutup setiap celah. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi langkahku, termasuk dirinya sendiri.”
Hening kembali menyelimuti meja itu. Hanya suara hujan dan aroma kopi panas yang bergelayut di udara. Wilhelm menatap Hazric lama, tahu bahwa temannya sedang bersiap memulai sesuatu yang jauh lebih rumit daripada sekadar misi kriminal.
“Kalau begitu…” Wilhelm akhirnya berkata, suaranya pelan tapi mantap. “Kita susun rencana itu. Tapi Hazric… kau harus sadar. Hati-hati dengan apa yang akan kau bangun kembali. Sekali salah langkah, semuanya bisa hancur.”
Hazric menatap secangkir kopi di depannya, memutar cangkir itu perlahan.
“Aku siap. Tidak ada lagi penundaan. Aku akan melihatnya lagi… dan kali ini, tidak akan kubiarkan dia pergi begitu saja.”
Kafe mulai ramai dengan suara gelas dan percakapan ringan para pengunjung, tapi Hazric dan Wilhelm tetap berada di sudut paling tenang, seolah dunia di luar tidak ada. Wilhelm mencondongkan tubuh, menatap Hazric yang duduk tegak, mata menyala penuh tekad.
“Oke,” kata Wilhelm sambil membuka tablet, menampilkan daftar tamu dan jadwal pertemuan yang sudah ia susun. “Kalau kita ingin pertemuan ini terlihat natural, semua gerakanmu harus halus. Tidak ada yang mencurigakan. Dan Azylle… dia tidak boleh menyadari kalau kau sengaja menatanya.”
Hazric mengangguk, menatap daftar itu. Tangannya mengetuk meja perlahan, matanya melirik setiap nama, setiap detail waktu dan lokasi.
“Dia harus melihatku, tapi seolah-olah itu hanya kebetulan. Aku tidak ingin dia merasa… ditekan. Kita buat semua tampak alami, seakan aku hanya hadir di acara itu seperti tamu biasa.”
Wilhelm menekan layar tablet, menunjukkan diagram tempat duduk dan jalur masuk.
“Pertama, kau harus muncul saat dia sedang duduk atau berada di sisi lain ruangan. Jangan langsung ke arahnya. Biarkan mata kalian bertemu secara ‘tidak sengaja’. Reaksi pertama harus spontan, bukan disengaja.”
Hazric tersenyum tipis, tangannya mengepal di sisi cangkir kopi.
“Dan kalau dia mencoba menghindar?”
“Itu lebih rumit,” jawab Wilhelm sambil menggeser diagram. “Aku sudah menempatkan beberapa tamu kunci di jalurnya. Jadi, secara alami dia akan melewati titik yang sama denganmu. Kau cukup berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Tidak perlu memaksa.”
Hazric menatap Wilhelm, nada serius tapi lembut.
“Aku juga harus memperhatikan bahasa tubuhnya. Tidak boleh terlalu agresif… atau terlalu dingin. Aku harus membaca reaksinya dalam beberapa detik pertama.”
Wilhelm mengangguk, menatap pria di depannya dengan campuran kagum dan khawatir.
“Ini akan jadi rumit. Kau ingin ‘kebetulan’ yang sempurna tapi tetap emosional. Kau sadar, kan? Salah langkah sedikit saja… dan dia bisa curiga atau menjauh.”
Hazric menunduk sebentar, menatap kopi yang mulai mendingin.
“Aku tahu risikonya. Tapi ini satu-satunya kesempatan. Aku tidak bisa membiarkan sembilan tahun itu hilang begitu saja.”
Wilhelm menekan layar tablet lagi, menampilkan peta posisi di ruangan dan jalur masuk semua tamu penting.
“Aku sudah menyiapkan beberapa trik kecil: gerakan kursi, letak meja, bahkan urutan orang yang datang. Semua untuk membuat pertemuan kalian tampak kebetulan. Aku juga sudah menyesuaikan waktu agar kau bisa masuk tepat sebelum Azylle akan melihatmu.”
Hazric mengangkat alis, sedikit tersenyum.
“Aku suka detilmu, Wilhelm. Aku suka kalau semua rapi dan terkalkulasi. Tapi ini bukan lagi tentang strategi biasa. Ini… hati.”
Wilhelm menatapnya lama, lalu menepuk bahunya perlahan.
“Hazric… hati bukan teka-teki yang bisa dipecahkan. Tapi kalau kau tetap ingin mencoba… aku akan pastikan pertemuan itu terlihat natural. Semua yang bisa kita kendalikan, akan kita kendalikan.”
Hazric menegakkan tubuhnya, mata menatap jendela kafe, melihat tetes hujan yang menetes di kaca.
“Baik. Persiapkan semuanya. Aku akan hadir… dan kali ini, aku tidak akan pergi begitu saja.”
Di luar, kota Moskow terus basah diguyur hujan tipis, tapi di sudut hangat kafe itu, dua orang pria tengah merancang satu pertemuan yang bisa mengubah jalannya masa lalu — sebuah rencana penuh kalkulasi, ketegangan, dan harapan yang tersembunyi di balik senyuman dan langkah-langkah yang terlihat sederhana.
Guys minta vote-nya yaa, tolong banget, makasii banyak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Strings of Deception
Teen Fiction"Dia adalah obsesinya..dan racun dalam dirinya." Azylle Mercier tampak seperti siswi biasa berumur 18 tahun, tapi diam-diam ia bagian dari organisasi gelap Valken Cipher. Hazric Winston, detektif jenius sekaligus cinta masa kecilnya, kembali ke Indo...
Bab 5
Mulai dari awal
