✷ ✷ ✷ ✷

Suara hujan yang menampar jendela ruangan masih terdengar samar ketika David Mercier menekan nomor yang sudah sangat ia hafal di luar kepala. Jemarinya bergetar halus, tapi bukan karena dingin — melainkan karena tekanan yang menyesakkan dada.
Nada sambung terdengar beberapa kali. Setiap detik terasa seperti cambuk bagi pikirannya yang kalut.

“Ayah?”
Suara itu terdengar dari ujung sambungan — lembut, tapi berhati-hati.

“Azylle,” suara David terdengar berat, tanpa basa-basi, tanpa sapaan lembut yang biasanya keluar ketika mereka berbicara di luar urusan organisasi. “Bereskan semua urusanmu di sana. Aku ingin kau pulang. Sekarang.”

“Sekarang?” Azylle terdiam sejenak, nada suaranya berubah canggung. “Aku masih di London, baru nyelesaiin—”

“Aku tahu!” potong David keras, napasnya berat dan terburu. “Tim Valken sudah mengurus semua. Paspor baru, tiket, semua identitasmu sudah disiapkan. Mereka akan datang menjemputmu malam ini. Aku tidak peduli kau sedang di tengah apa pun. Aku ingin kau terbang besok pagi paling lambat.”

Ada jeda hening di antara mereka. Hanya terdengar suara hujan dari Jakarta dan deru samar angin dari sisi London yang jauh di seberang benua.

"Ada apa sebenarnya?” tanya Azylle akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik. “Ayah… jarang sekali bicara dengan nada kayak gini. Ada masalah?”

David memejamkan mata, menahan diri agar tidak meledak lagi. Ia tahu anaknya pintar — terlalu pintar untuk ditipu mentah-mentah. Tapi tidak sekarang, bukan saat kabar itu baru saja tiba.

“Kau tidak perlu tahu,” katanya akhirnya, datar tapi dingin. “Yang jelas, situasi di sini sedang… berubah. Aku tidak mau kau berada terlalu jauh saat itu terjadi.”

“Ayah, kalau ini tentang Valken Cipher—”

“Ini bukan cuma tentang itu!” suara David meninggi lagi. Tangannya mencengkeram ponsel lebih erat, urat di pelipisnya menegang. “Dengarkan aku baik-baik, Azylle. Ini penting. Ada seseorang yang akan datang ke Indonesia, dan aku tidak mau dia melihatmu dalam keadaan seperti sekarang.”

Azylle terdiam. Seketika nada suaranya melembut, tapi ada ketegangan yang mulai terasa.

“Seseorang?”
“Hazric Winston.”

Hening. Hanya terdengar deru napas tipis dari ujung sambungan.

“…Hazric?” gumam Azylle pelan. “Dia… pulang?”

David menarik napas panjang, suaranya kali ini menurun, tapi masih mengandung ketegangan.

“Ya. Dia pulang. Dan dia akan membuat banyak hal berubah di sini. Aku tidak mau dia menemukan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.”

“Termasuk aku,” potong Azylle lirih.

“Tepat.”
Nada David begitu dingin, tapi terselip nada takut yang samar. “Kau harus pulang duluan. Jauh sebelum pesawatnya mendarat. Aku ingin semua sudah siap — penampilanmu, identitasmu, aktivitasmu di akademi. Kau harus terlihat normal, Azylle. Sangat normal.”

“Jadi, aku cuma harus pura-pura jadi mahasiswi polos lagi?” suara Azylle terdengar sinis, meski ada sedikit getaran di ujungnya.
“Ya,” jawab David tegas. “Kau bukan siapa-siapa di depan Hazric Winston. Kau bukan bagian dari Valken Cipher. Kau hanya anakku. Ingat itu.”

Strings of DeceptionWhere stories live. Discover now